makalah latar belakang dibentuk BPK
Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah dikeluarkan Surat Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 Januari 1947 yang berkedudukan sementara di kota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa Keuangan hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan dengan suratnya tanggal 12 April 1947 No.94-1 telah mengumumkan kepada semua instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW dan IAR.
Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948 tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di Yogyakarta tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945; Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949.
Dengan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno mulai tanggal 31 Desember 1949, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA).
Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan RIS yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor menempati bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene Rekenkamer di Bogor.
Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945.
Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW dan IAR.
Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.
Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa Presiden, sebagai Pemimpin Besar Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan Keuangan Negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan Menteri.
Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya baru direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional.
Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI dalam UUD Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5) kemudian dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat.
Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat Undang-Undang di bidang Keuangan Negara, yaitu;
UU No.17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara; UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara; UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Dengan bergulirnya reformasi untuk menuju supremasi hukum, penegakan hukum merupakan salah satu cara utama yang harus dibenahi dan dikokohkaan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian di atas, serta mengingat luasnya ruang lingkup pengkajian mengenai sejarah, peran dan fungsi Badan pemeriksa keunagna dengan segala asfeknya, maka penulis mencoba untuk membatasi permasalahan dalam makalah ini yaitu :
1. Bagaimanakah sejarah pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan apa dasar hukumnya ?
2. Bagaimanakah peran dan fungsi Badan Pemeriksa Keuangan dalam hal pengawasan pengelolaan keuangan negara dan penanggulangan terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia ?
C. Metode Penelitian
Mengingat keterbatasan waktu dan biaya, maka penulis belum dapat melakukan penelitian secara lengakap dan detil guna memenuhi standar penilitian yang ada. Untuk itu penulis dalam melakukan penelitian ini dilakukan secara uji kualitatif dan tanpa uji hipotesa. Metode yang digunakan adalah metode deskriftif-analitis, yaitu suatu tipe penelitian yang berusaha melukiskan realitas sosial yang kompleks melalui penyederhanaan dan klasifikasi dengan memanfaatkan konsep-konsep yang dapat dijelaskan suatu gejala sosial secara analitis.
Sumber data berdasar dari literatur, dokumen-dokumen, dan tulisan-tulisan para pakar dibidangnya.
Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 menetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah dikeluarkan Surat Penetapan Pemerintah No.11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 Januari 1947 yang berkedudukan sementara di kota Magelang. Pada waktu itu Badan Pemeriksa Keuangan hanya mempunyai 9 orang pegawai dan sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memulai tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan dengan suratnya tanggal 12 April 1947 No.94-1 telah mengumumkan kepada semua instansi di Wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan Hindia Belanda), yaitu ICW dan IAR.
Dalam Penetapan Pemerintah No.6/1948 tanggal 6 Nopember 1948 tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di Yogyakarta tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945; Ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No.13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949.
Dengan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Piagam Konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949, maka dibentuk Dewan Pengawas Keuangan (berkedudukan di Bogor) yang merupakan salah satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai Ketua diangkat R. Soerasno mulai tanggal 31 Desember 1949, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta. Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA).
Dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, maka Dewan Pengawas Keuangan RIS yang berada di Bogor sejak tanggal 1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 dan berkedudukan di Bogor menempati bekas kantor Dewan Pengawas Keuangan RIS. Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene Rekenkamer di Bogor.
Pada Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden RI yang menyatakan berlakunya kembali UUD Tahun 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945.
Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS Dewan Pengawas Keuangan RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW dan IAR.
Dalam amanat-amanat Presiden yaitu Deklarasi Ekonomi dan Ambeg Parama Arta, dan di dalam Ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun 1963) yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.
Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa Presiden, sebagai Pemimpin Besar Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan Keuangan Negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan Menteri.
Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No.X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya baru direalisasikan pada Tahun 1973 dengan UU No. 5 Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam era Reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan Tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang Keuangan Negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No.VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu-satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan peranannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan profesional.
Untuk lebih memantapkan tugas BPK RI, ketentuan yang mengatur BPK RI dalam UUD Tahun 1945 telah diamandemen. Sebelum amandemen BPK RI hanya diatur dalam satu ayat (pasal 23 ayat 5) kemudian dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 dikembangkan menjadi satu bab tersendiri (Bab VIII A) dengan tiga pasal (23E, 23F, dan 23G) dan tujuh ayat.
Untuk menunjang tugasnya, BPK RI didukung dengan seperangkat Undang-Undang di bidang Keuangan Negara, yaitu;
UU No.17 Tahun 2003 Tentang keuangan Negara; UU No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara; UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Dengan bergulirnya reformasi untuk menuju supremasi hukum, penegakan hukum merupakan salah satu cara utama yang harus dibenahi dan dikokohkaan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Dewasa ini, mulai banyak bermunculan permasalahan rumit yang sedang
dihadapai oleh negara Indonesia. Permasalahan ini sudah mencakup banyak
aspek, mulai dari aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, hingga
pertahanan keamanan. Dalam era reformasi ini, setelah tumbangnya
pemerintahan Orde Baru, agenda yang menjadi sorotan utama adalah masalah
pemberantasan kasus-kasus korupsi. Masalah inilah yang merupakan salah
satu penyebab utama runtuhnya pemerintahan Orde Baru. Di dalam pemilu
pun, agenda pemberantasan korupsi merupakan isu yang layak jual untuk
menarik massa.
Korupsi di Indonesia
seakan telah menjadi budaya yang memasuki berbagai bidang kehidupan,
apalagi di sektor birokrasi kita yang sudah terkenal sangat
sophisticated dalam berkorupsinya. Hal ini diperkuat oleh data survey
lembaga internasional yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk dalam
jajaran sepuluh besar negara terkorup. Hal ini sungguh merupakan sesuatu
yang memperihatinkan yang harus segera mendapatkan perhatian dari
segenap bangsa Indonesia.
Pasca
reformasi, pemerintah semakin gencar berusaha untuk memusnahkan
tindakan-tindakan korupsi yang telah terlanjur menjadi budaya di
Indonesia. Dalam memberantas budaya korupsi di Indonesia, pemerintah
juga telah membuat lembaga-lembaga, badan-badan, atau komisi-komisi yang
tupoksinya terkait dengan usaha-usaha pemeberantasan korupsi. Lembaga,
badan, atau komisi tersebut antara lain, MA, BPK, KPK, Kepolisisan,
Timtastipikor, KY, BPKP, dan Kejaksaan Agung, yang dalam menjalankan
tugasnya semuanya saling terkait dan saling mendukung dalam sebuah
sistem yang dibentuk oleh pemerintah. Namun, dalam paper ini penulis
hanya membahas tentang lembaga Badan Pemeriksa Keuangan.Badan pemeriksa
Keuangan merupakan lembaga negara tertua yang bertugas menanggulangi dan
memberantas terjadinya tindak pidana korupsi dibandingkan dengan
lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia dinadingkan dengan lembaga
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) atau lembaga yang diberi nama Tim Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor). Rumusan tentang Badan Pemeriksa
Keuangan ini telah sejak negara kesatuan Republik Indonesia berdiri dan
dimuat dalam Undang-undang dasar 1945.
Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana telah disebutkan di atas, maka dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk mengangkat dan membahas perihal sejarah dan tujuan dibentuknya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini ) dengan segala asfeknya dalam suatu karya ilmiah yang berbentuk makalah, dengan judul pilihan adalah : “SEJARAH PEMBENTUKAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DAN KIPRAHNYA DALAM UPAYA MENANGGULANGI DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA”.
Berdasarkan uraian-uraian sebagaimana telah disebutkan di atas, maka dalam hal ini penulis merasa tertarik untuk mengangkat dan membahas perihal sejarah dan tujuan dibentuknya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini ) dengan segala asfeknya dalam suatu karya ilmiah yang berbentuk makalah, dengan judul pilihan adalah : “SEJARAH PEMBENTUKAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DAN KIPRAHNYA DALAM UPAYA MENANGGULANGI DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian di atas, serta mengingat luasnya ruang lingkup pengkajian mengenai sejarah, peran dan fungsi Badan pemeriksa keunagna dengan segala asfeknya, maka penulis mencoba untuk membatasi permasalahan dalam makalah ini yaitu :
1. Bagaimanakah sejarah pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan apa dasar hukumnya ?
2. Bagaimanakah peran dan fungsi Badan Pemeriksa Keuangan dalam hal pengawasan pengelolaan keuangan negara dan penanggulangan terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia ?
C. Metode Penelitian
Mengingat keterbatasan waktu dan biaya, maka penulis belum dapat melakukan penelitian secara lengakap dan detil guna memenuhi standar penilitian yang ada. Untuk itu penulis dalam melakukan penelitian ini dilakukan secara uji kualitatif dan tanpa uji hipotesa. Metode yang digunakan adalah metode deskriftif-analitis, yaitu suatu tipe penelitian yang berusaha melukiskan realitas sosial yang kompleks melalui penyederhanaan dan klasifikasi dengan memanfaatkan konsep-konsep yang dapat dijelaskan suatu gejala sosial secara analitis.
Sumber data berdasar dari literatur, dokumen-dokumen, dan tulisan-tulisan para pakar dibidangnya.
0 komentar:
Posting Komentar