Pemberontakan ( bugot )


Kelompok 6 :
1. Ayu
Nirmala
2. Elvan Kurniawan
3. Linda Apriliani
4. Ridho Syahroni
5. Siti Urwatul Uskok
MAN 2 MODEL MATARAM
2014/2015
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena
atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka kami dapat menyelesaikan sebuah
karya tulis dengan tepat waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Pemberontakan " yang mmenurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kami untuk mempelajari karya tulis ini.
Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggu perasaan pembaca.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Pemberontakan " yang mmenurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kami untuk mempelajari karya tulis ini.
Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggu perasaan pembaca.
Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima
kasih dan semoga allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan
manfaat.
Mataram, 15 November 2014
DAFTAR ISI
BAB
1 PENDAHULUAN.................................................................
1.1 Latar
Belakang..........................................................
1
1.2 Tujuan .....................................................................
1
1.3
Rumusan Masalah....................................................
1
BAB
2 PEMBAHASAN.......................................................... ......
2.1
Pengertian Peradilan dan Pengadilan........................
2
2.2
Unsur-Unsur Peradilan Islam .................................. 3
2.3
Prinsip- Prinsip Peradilan.........................................
5
2.4
Sistem Peradilan Dalam Islam..................................
8
2.5
Hikmah Peradilan Dalam Islam................................
9
2.6
Fungsi Lembaga Peradilan Agama............................
10
BAB
3 PENUTUP................................................................... ......
3.1
Kesimpulan...............................................................
11
3.2
Saran .....................................................................
11
DAFTAR PUSTAKA...................................................................... 12
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdamaian
adalah salah satu prinsip yang ditanamkan oleh ajaran Islam kepada kaum
muslimin, karena kata Islam yang menjadi nama agama berasal
dari kata As-Salaam yang artinya perdamaian. Karena As-salam dan Al-islam itu
sama-sama bertujuan menciptakan ketentraman, keamanan, dan ketenangan. Akan
tetapi jika hubungan yang semestinya terjalin itu menjadi pecah,dan putusnya
tali persaudaraan, sehingga sebagian berbuat dzalim kepada yang lain, maka pada
saat itu kaum bughat (pemberontak) wajib diperangi. Pemberontakan menurut arti
bahasa adalah mencari atau menuntut sesuatu . Sedangkan menurut istilah
terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama mazhab yang
berbeda-beda.
1. Imam Al-Mawardi mendefinisikan pemberontakan adalah segala
larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan meninggalkan hal-hal yang
diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.
2. Sedangkan ulama syafi’i
mengartikan pemberontakan adalah orang-orang muslim yang menyalahi imam dengan
cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan, argumentasi, dan pikiran. Dalam hal ini, antara
perampokan dengan pemberontakan terdapat beberapa kemiripan. Sehubungan dengan
adanya kemiripan tersebut, maka orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya
dan tidak mau tunduk kepada pemerintahan di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. orang-orang yang membangkang
tanpa alasan, baik dengan menggunakan kekuatan maupun tidak dengan kekuatan,
mereka mengintimidasi, mengambil harta, dan membunuh korbannya. Mereka ini
termasuk kelompok perampok.
2.Orang-orang
yang membangkang tetapi mereka tidak memiliki kekuatan, meskipun mereka mempunyai alasan. Mereka juga termasuk
kelompok perampok.
3. Orang-orang yang membangkang kepada pemerintahan yang
sah dengan alasan pemerintahannya menyeleweng, melakukan maksiat, dan lain-lain
yang oleh mereka dianggap bertentangn dengan prinsip-prinsip Islam, lalu mereka
menggunakan kekuatan untuk mencapai tujuannya. Mereka inilah yang disebut dengan pelaku pemberontakan. Salah
satunya yaitu konflik yang terjadi di Indonesia dulu, yaitu konflik Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). [1]
1.2 Tujuan
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Bugot
Bugot menurut bahasa
adalah mencari, menghendaki, menginginkan,melampaui batas, zalim.
Pemberontakan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses, cara,
perbuatan memberontak; penentangan terhadap kekuasaan yang sah. Sedangkan menurut
istilah, Bugot adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Imam yang sah
tanpa alasan. Pemberontakan merupakan upaya melakukan kerusakan. Islam
memerintahkan Pemerintah untuk berunding, dan diperangi apabila tidak bersedia
kembali bergabung dalam masyarakat. Bahkan mayatnya tidak perlu dishalati
seperti yang lakukan oeh Ali bin Abi Thalib. Kata al-baghyu artinya dzalim atau aniaya,
sedangkan kata al-baaghy menurut istilah ulama adalah orang yang menentang
pemerintah yang adil dan tidak mau melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.
2. Jinayah Perbuatan Pemberontakan
Jarimah mengenai jinayah perbuatan makar atau al-baghyu
telah diatur dalam nash baik al-quran maupun sunnah selain telah diatur dalam
hukum pidana islam perbuatan inipun telah dibahas dalam regulasi pemerintahan
Indonesia yang biasa disebut dalam Undang-undang sebagai kejahatan terorisme.
Pidana tentang terorisme gancar
dibuat serentak dengan gencarnya serangan dari pelaku terorisme. Pidana
terorisme dapat dipandang dari dua sudut, yaitu dipandang dari sudut Fikih
Jinayah dan Regulasi pemerintahan Indonesia berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Pidana terorisme dapat dipandang dari sudut Fikih Jinayah karena di
dalam tindakan terorisme ada unsur-unsur yang serupa dengan pemberontakan,
pembunuhan, dan penganiayaan atau pencederaan. Yang pidananya telah diatur
dalam al-Qur’an dan al-Hadis.
3.Bugot
Dipandang Dari Sudut Pandang Fikih
Jinayah
Para mujtahidin sepakat, apabila seseorang atau sesuatu golongan memberontak
terhadap negara dengan cukup alasan, dibolehkan kepala negara memerangi mereka
sehingga mereka kembali kepada kebenaran. Apabila mereka menyadari kesalahan,
hendaklah dihentikan penumpasan. Jadi menumpas pemberontakan adalah wajib karena
dari segi perbuatan ini sudah menyalahi hukum Allah, maka dia termasuk pada
perbuatan maksiat dan oleh karena terhadap pelakunya dikenai ancaman yang
bersifat fisik di dunia, maka tindakan tersebut termasuk pada jinayah atau
jarimah hudud.[2]
2.2
Dasar Hukum Bugot
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا
عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ
اللَّهِ …
“Dan
jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah” (QS Al-Hujurat [49]:9)
Namun demikian, Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari
dalam Fathul Wahhab (II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini
memang tidak disebut ‘memberontak kepada imam’ secara sharih, akan tetapi ayat
tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat
tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan
atas golongan lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut
lagi.”
Selain itu, syarat ini ditunjukkan secara jelas oleh hadits
yang menjelaskan tercelanya tindakan memberontak kepada imam (al-khuruj ‘an
tha’at al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :
… مَنْ
خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً
جَاهِلِيَّةً … ( روه مسلم عن أبي هريرة )
“Barangsiapa
yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah
kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim No.
3436 dari Abu Hurairah).
2.3 Syarat-syarat Bugot
Bughat berasal dari kata bagha yang artinya secara harfiah
berarti melampaui batas. Secara maknawiyah, bughat adalah apabila seseorang
atau suatu kelompok memenuhi syarat-syarat antara lain:
Syarat pertama, adanya pemberontakan kepada khalifah (imam) (al-khuruuj
‘ala al-imam). Hal ini bisa terjadi misalnya dengan ketidaktaatan mereka
kepada khalifah atau menolak hak khalifah yang mestinya mereka tunaikan
kepadanya, semisal membayar zakat. Syarat pertama ini, memang tidak
secara sharih (jelas) disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى
فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ …
“Dan
jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah …” (QS Al-Hujurat [49]:9)
Namun
demikian, Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari dalam Fathul Wahhab (II/153)
mengatakan,”Dalam ayat ini memang tidak disebut ‘memberontak kepada imam’
secara sharih, akan tetapi ayat tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman
ayatnya, atau karena ayat tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut
karena kezaliman satu golongan atas golongan lain, maka kezaliman satu golongan
atas imam tentu lebih dituntut lagi.”
Selain
itu, syarat ini ditunjukkan secara jelas oleh hadits yang menjelaskan
tercelanya tindakan memberontak kepada imam (al-khuruj ‘an tha’at al-imam).
Misalnya sabda Nabi SAW :
… مَنْ
خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً
جَاهِلِيَّةً … ( روه مسلم عن أبي هريرة )
“Barangsiapa
yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah
kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim No.
3436 dari Abu Hurairah).
Akan
tetapi yang dimaksud imam atau khalifah, bukanlah presiden atau raja atau
kepala negara lainnya dari negara yang bukan negara Islam (Daulah
Islamiyah/Khilafah). Menurut Abdul Qadir Audah, “[Yang dimaksud] Imam, adalah
pemimpin tertinggi (kepala) dari Negara Islam (ra`is ad-dawlah al-islamiyah
al-a’la), atau orang yang mewakilinya…” (At-Tasyri’ Al-Jina`i
Al-Islamiy, Juz II hal. 676). Dengan demikian, pemberontakan kepada
kepala negara yang bukan khalifah, misalnya kepada presiden dalam sistem
republik, tidak dapat disebut bughat, dari segi mana pun, menurut pengertian
syar’i yang sahih.
Syarat kedua, mempunyai kekuatan yang memungkinkan kelompok bughat untuk
mampu melakukan dominasi. Kekuatan di sini, sering diungkapkan oleh para fuqaha
dengan istilah asy-syaukah, sebab salah satu makna asy-syaukah adalah al-quwwah
wa al-ba`s (keduanya berarti kekuatan) (Al-Mu’jamul Wasith, hal.
501). Para fuqaha Syafi’iyyah menyatatakan bahwa asy-asyaukah ini
bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak (al-katsrah) dan
adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang ditaati (Asna
Al-Mathalib, IV/111). Dengan demikian, jika ada yang memberontak kepada
khalifah, tetapi tidak mempunyai kekuatan, misalnya hanya dilakukan oleh satu
atau beberapa individu yang tidak membentuk kekuatan, maka ini tidak disebut
bughat.
Syarat ketiga, mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuannya.
Para fuqaha mengungkapkan syarat penggunaan senjata dengan istilah man’ah, atau
terkadang juga dengan istilah asy-syaukah, karena asy-syaukah juga
bisa berati as-silaah (senjata). Dalil syarat ketiga
terdapat dalam ayat tentang bughat (QS Al Hujurat : 9), yaitu pada
lafazh اقْتَتَلُوا (kedua golongan itu berperang). Ayat ini
mengisyaratkan adanya sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silaah).
Selain dalil ini, ada dalil lain berupa hadits di mana Nabi SAW bersabda :
مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّّلاحَ فَلَيْسَ
مِنّاَ ( متفق عليه عن ابن عمر )
“Barangsiapa
yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.” (Shahih
Bukhari No. 6366, Shahih Muslim No. 143.)
Dengan demikian, jika ada kelompok yang menentang dan tidak
taat kepada khalifah, tetapi tidak menggunakan senjata, misalnya hanya dengan
kritikan atau pernyataan, maka kelompok itu tak dapat disebut bughat.
Di dalam Islam, pemberontakan sendiri bukanlah sesuatu yang
baru. Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a telah banyak mengalami
pemberontakan. Peristiwa perang Shiffin merupakan salah satu contoh
pemberontakan terhadap amirul mukminin yang pernah terjadi. Peristiwa tersebut
diawali oleh peristiwa yang dinamakan Haditsul ifk. Peristiwa itu terjadi
ketika Rasul Allah s.a.w. melancarkan ekspedisi terhadap kaum kafir dari Banu
Musthaliq. Dalam ekspedisi itu beliau mengajak isterinya, Sitti Aisyah. Dalam
perjalanan pulang ke Madinah, Sitti Aisyah ketinggalan dari rombongan,
gara-gara mencari barang perhiasannya yang hilang di perjalanan.
Untunglah
ketika itu ia dijumpai oleh Shafwan bin Mu’atthal, yang berangkat pulang lebih
belakangan. Bukan main terkejutnya Shafwan melihat Ummul Mukminin seorang diri
di tengahtengah padang pasir. Isteri Rasul Allah s.a.w. itu dipersilakan naik
ke atas unta, sedangkan Shafwan sendiri berjalan kaki sambil menuntun. Siang
hari mereka berdua baru memasuki kota Madinah dengan disaksikan oleh orang
banyak. Semuanya heran mengapa Ummul Mukminin mengendarai unta seorang pemuda
yang tampan itu. Konon Usamah bin Zaid sama sekali tidak dapat mempercayai
benarnya desas-desus itu. Sedang Imam Ali r.a. waktu itu mengatakan: Ya Rasul
Allah, masih banyak wanita lain! Imam Ali r.a. mengucapkan kata-kata itu hanya
sekedar untuk berusaha menenangkan perasaan Rasul Allah s.a.w. yang tampak
gelisah. Siti Aisyah mendengar Ali r.a berkata seperti itu merasa tersinggung.
Hingga akhirnya kesalahfahaman tersebut akhirnya berujung pada suatu perang.
Selain itu pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib banyak
sekali kekuatan lain yang menentang kekhalifahan. Dalam periode itu praktis
ummat Islam terpecah dalam tiga kelompok besar:
1.
Kelompok Madinah di bawah pimpinan Imam Ali r.a.
2.
Kelompok Damsyik di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
3.
Kelompok Makkah di bawah pimpinan trio Thalhah, Zubair dan Sitti Aisyah r.a.
Masing-masing kelompok ditunjang oleh kekuatan bersenjata
yang cukup tangguh dan berpengalaman. Kekuatan anti Imam Ali r.a. ini mempunyai
tujuan ganda: menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. dan
menggulingkan Imam Ali r.a. dari kedudukannya sebagai Amirul Mukminin. Mereka
berpendirian, setelah dua tujuan itu tercapai barulah diadakan pemilihan
Khalifah baru dalam suasana bebas dari tekanan dan paksaan. Ujung puncak dari
konflik ini adalah meletusnya Perang Shiffin.
2.4
Hukum Bugot
Fenomena bughat masuk dalam
soal kepemimpinan politik atau al-imârah. Dalam soal ini prinsipnya jelas,
seperti disebutkan dalam ayat: “Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan
ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa’, 4: 59). Di sini ulil amri salah
satunya adalah penguasa yang sah, dan karenanya harus ditaati.
Prinsip ketaatan terhadap penguasa yang sah merupakan salah
satu hal penting dalam kepemimpinan. Ketaatan di sini bisa bermakna tidak
keluar untuk mengangkat senjata, meskipun tidak sesuai dengan aspirasinya.
Prinsip ketaatan ini untuk menjaga kelangsungan sistem sosial agar tidak
terjadi anarki. Jika ingin melakukan perbaikan, dalam bahasa Imam al-Ghazali
disebutkan, untuk membangun sebuah bangunan, tidak perlu merobohkan sebuah
kota.
Namun begitu, seorang pemimpin tidak boleh ditaati apabila
memerintahkan kepada kemaksiatan. Sesuai sabda Rasulullah saw, “Seorang muslim
perlu mendengarkan dan mematuhi perintah, yang disukainya dan tidak disukainya,
selama tidak disuruh mengerjakan maksiat (kejahatan). Tetapi apabila dia
disuruh mengerjakan maksiat, tidak boleh didengar dan ditatati.” (HR. Bukhari).
Sehingga hal yang wajib dilakukan oleh setiap muslim adalah amar makruf nahi
munkar. Kritik kepada pemerintah bisa jadi salah satu bentuk amar makruf nahi
munkar dan sarana mengingatkan bagi pemimpin, Sebab pemimpin juga memiliki hak
untuk diingatkan dan didoakan. Selain itu aksi unjuk rasa, demonstrasi juga
termasuk bentuk kritik dan mengingatkan pemimpin, bukan merupakan bentuk bughat
atau pemberontakan. Namun begitu ada perkara yang menyebabkan bolehnya keluar
ketaatan dari penguasa sedikitnya harus memenuhi 4 syarat:
1.Penguasa itu jatuh pada kekafiran yang nyata, yang kita
memiliki bukti di sisi Allah akan hal itu.
Dari Junaada bin Umayyah, ia berkata: kami pernah masuk
menemui Ubaadah bin Ash-Shaamit yang ketika itu ia sedang sakit. Kami berkata
:”Semoga allah memperbaiki keadaanmu. Ceritakanlah kepada kami hadis yang
Allah telah memberikan manfaat kepadamu dengannya, yang telah engkau dengar
dari Rasulullah saw.” Ia berkata: “Nabi saw pernah memanggil kami lalu
membaiat kami. Dan diantara baiatnya adalah agar kami berbaiat untuk mendengar
dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan
ataupun kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan sewenang-wenang. Dan
hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari ahlinya (orang yang
berhak).” Beliau saw berkata: “kecuali jika melihat kekufuran yang nyata
, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah.” [HR. Bukhari no.7056 dan
Muslim no.1709].
2. Telah ditegakkan hujjah padanya.
“Dan
tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum
muslimin-walau ia bersalah atau keliru-sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan
padanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap keislaman padanya dengan
yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak
hilang kecuali telah ditegakkan padanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat”
[Majmuu’al Fattaawaa 12/466]
3. Mempunyai kemampuan untuk menurunkannya
Dari Abu Sa’id Al Khudriy r.a ia berkata : “Aku mendengar
rasulullah saw bersabda : Barangsiapa melihat kemunkaran maka rubahlah ia
dengan tangannya. Jika tidak mampu rubahlah dengan lisannya. Dan jika tidak
mampu maka (tolaklah) dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.”
(HR. Muslim no. 49)
4. Kerusakan akibat keluar ketaatan darinya tidak
lebih besar daripada menaatinya
Ibnu Taimiyyah pernah berkata apabila amar ma’ruf dan nahi munkar
mengkonsekuensikan kerusakan yang lebih banyak daripada kebaikannya, maka
perbuatan itu tidaklah disyariatkan. Para pengikut imam Ahlus-Sunnah membenci
peperangan dalam masa fitnah yang dinamakan oleh para pengikut hawa nafsu
sebagai amar ma’ruf nahi munkar, karena yang demikian itu apabila menimbulkan
fitnah yang lebih besar kerusakannya daripada meninggalkan amar makruf nahi
munkar, tidaklah boleh menolak kerusakan yang lebih kecil dengan mendatangkan
kerusakan yang lebih besar. Bahkan seharusnya menolak kerusakan yang lebih
besar dengan menanggung kerusakan yang lebih kecil. Hal itu sebagaimana sabda
Rasul saw : “Maukah kalian aku beritahukan sesuatu yang lebih utama daripada
derajat puasa, shalat, sadaqah dan amar makruf nahi munkar?” Mereka (sahabat)
menjawab: “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: Memperbaiki
hubungan antara dua orang yang berselisih, karena kerusakan hubungan itu
merupakan ‘pencukur’. Aku tidak mengatakannya pencukur rambut, akan tetapi ia
adalah pencukur agama.” [Al-Istiqamah, 1/330].
Itulah syarat-syarat yang tentunya tidak mudah apabila
seorang muslim dikatakan boleh keluar dari ketaatan terhadap pemimpin.
Syarat-syarat di atas harus terpenuhi, jika salah satu syarat saja hilang maka
tidak boleh keluar ketaatan dan atau mengangkat senjata kepada penguasa. Hal
ini sekaligus menujukkan bahwa Islam selalu mengajarkan umatnya sedapat mungkin
untuk tetap taat kepada pemimpin yang sah. Sebab azab Allah juga menunggu bagi
siapa orang yang tidak taat kepada ulil amri yang sah.[3]
2.5 Hikmah Bugot
Dilarangnya perbuatan bughat mengandung hikmah yang
sangat banyak bagi kaum muslimin, dan umat islam pada umumnya, di antaranya:
a. Terciptanya situasi dan
kondisi Negara yang aman.
b. Hilangnya rasa was-was dan
ketakutan masyarakat.
c. Terjalinnya kesatuan dan
persatuan antara komponen bangsa.
d. Program pembangunan yang
dicanangkan pemerintah dapat direnanakan dengan mulus.
e. Secra bersama-sama dapat
menciptakan suatu Negara yang subur makmur yang mendapat ridho Alah SWT.
2.6 Perilaku
Menghindari Bugot
Untuk
dapat menjauhi sikap perilaku bughat hendaknya diperhatikan beberapa hal
berikut:
·
Tanamkan
keyakinan bahwa perbuatan bughat dilarang dalam agama islam.
Tanamkan keyakinan bahwa melakukan perbuatan bughat hanya
akan merigikan diri sendiri.
Tanamkan keyakinan bawna perbuatan membangkang merupakan
sikap tercela.
Berdo’alah kepada Allah agar diberi kekuata untuk menjauhi
sikap bughat.
gila bro lengkap bange penjelasan tentang pemberontakannya gan. makasih, nice post
BalasHapus