Selasa, 18 November 2014

Peradilan dalam Islam (makalah)



                                      
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
       Peradilan agama telah lahir dalam kehidupan hukum di Indonesia sejak masuknya.agama islam. Guna memenuhi kebutuhan masyarakat muslim akan penegakan keadilan, pemerintah mewujudkan dan menegaskan kedudukan peradilan agama sebagai salah satu badan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam Al-Qur’an,hadist rasul dan ijtihad para ahli hukum islam, terdapat aturan-aturan hukum materil sebagai pedoman hidup dan aturan dalam hubungan antar manusia (muamalah) serta hukum formal sebagai pedoman beracara di pengadilan.
         Dalam hukum islam, kegiatan peradilan merupakan kegiatan muamalah , yaitu kegiatan antara manusia dalam kehidupan bersama (manusia dengan manusia atau manusia dengan masyarakat). Melaksanakan amalan (kegiatan) peradilan hukumnya adalah fardhu kifayah, harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang dalam satu kelompok  masyarakat, namun kalau sudah ada satu atau beberapa orang yang mengerjakan (melaksanakan), kewajiban telah terpenuhi. Al-Mawardi di dalam buku Al-Ahkam as Shulthaniyah menegaskan kegiatan peradilan adalah  merupakan bagian pemerintah dalam rangka bernegara.
Tujuan
            Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana prinsip-prinsip dan sistem dalam peradilan islam. Dan untuk mengetahui apa saja unsur-unsur dan hikmah peradilan dalam islam. Dan untuk mengetahui fungsi lembaga peradilan agama.
Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian peradilan dan pengadilan ?
2.      Apa saja unsur-unsur peradilan dalam islam ?







                          BAB II
                   PEMBAHASAN

A.Pengertian Peradilan dan Pengadilan
Istilah Peradilan dan Pengadilan adalah memiliki makna dan pengertian yang berbeda, perbedaannya adalah :

1.      Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan rechspraak dalam bahasa Belanda yang meksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan.
2.      Pengadilan dalam istilah Inggris disebut court dan rechtbank dalam bahasa Belanda yang dimaksud adalah badan yang melakukan peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Kata Pengadilan dan Peradilan memiliki kata dasar yang sama yakni “adil” yang memiliki pengertian:
a.       Proses mengadili
b.      Upaya untuk mencari keadilan
c.       Penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan
d.      Berdasar hukum yang berlaku
Istilah peradilan itu senantiasa melekat dengan istilah pengadilan. Secara terminologi, kedua istilah itu berbeda, tetapi keduanya tidak mungkin dapat dipisahkan, bagaikan anak panah dengan busurnya, pedang dengan sarangnya, dan jadam dengan pahitnya. Karena pada dasarnya, pengadilan itu merupakan tempat diselenggarakannya peradilan. Dengan demikian, pengadilan itu dapat dibedakan dari peradilan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Peradilan merupakan piranti lunak yang abstrak, sedangkan pengadilan menjadi piranti keras yang konkret dan terlembaga.





B.Unsur-Unsur Peradilan Islam
Unsur-unsur peradilan Islam disebut juga dengan rukun qadha’. Secara bahasa, rukun yaitu bagian yang kuat, yang berfungsi menahan sesuatu. Secara istilah, rukun berarti bagian tertentu yang mesti dari sesuatu, karena terwujudnya sesuatu itu mesti dengan adanya bagian itu. Jadi, rukun qadha’ (unsur-unsur peradilan) yaitu apa yang menunjukkan eksistensi peradilan itu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ahli fiqih menyebutkan bahwa peradilan Islam mempunyai lima rukun atau unsur, yaitu:
a)      Hakim (qadhi)
          Yakni orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan dan perselisihan, dikarenakan penguasa tidak bisa melaksanakan sendiri tugas-tugas peradilan. Sebagaimana yang dilakukan nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya. Beliau mengangkat qadli-qadli untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat yang jauh.
b)      Hukum (qodho’)
          Yaitu suatu keputusan produk qadli untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan persengketaan. Ada dua bentuk keputusan hakim:
          1.Qadla’ ilzam, yaitu menetapkan hak/macam hukuman kepada salah salah satu pihak dengan redaksi “aku putuskan atasmu demikian”, atau menetapkan suatu hak dengan tindakan, seperti pembagian secara paksa.
           2.Qadla’ tarki (penetapan berupa penolakan). Seperti ucapan qadli kepada penggugat: kamu tidak berhak menuntut dari tergugat, karena kamu tidak mampu membuktikan, dan atas sumpah tergugat.

c)      Al-mahkum bih (hak)
         Yaitu sesuatu yang diharuskan oleh qadli untuk dipenuhi atas suatu hak. Pada qadla’ ilzam, yang dimaksud adalah dengan memenuhi hak penggugat. Sedangkan pada qadla’ tarki, yang dimaksudkan adalah penolakan atas gugatannya itu. Atas dasar itulah, al-mahkum bih adalah hak itu sendiri. Hak itu adakalanya hak Allah semata, hak manusia semata, atau hak yang dipersekutukan antara Allah dan manusia tetapi salah satu lebih berat.
         Apabila hak yang dituntut itu merupakan hak manusia semata, atau menurut lazimnya merupakan hak manusia, maka penuntutnya adalah pemilik hak itu sendiri, atau orang yang diberi kuasa olehnya. Si penuntut itu disebut mudda’i (penggugat). Jika ternyata dia tidak menuntut atau membatalkan tuntutannya, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menuntut haknya. Apabila hak yang dituntut itu adalah hak Allah semata-mata atau menurut lazimnya hak itu merupakan hak Allah, maka tuntutan itu dilakukan oleh penuntut umum (jaksa). Menurut hanafiyyah, yang dimaksud hak Allah adalah hak masyarakat (publik).
d)     Al-mahkum ‘alaih
         Yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya. Mahkum ‘alaih yaitu orang yang dikenai putusan untuk diambil haknya, baik ia mudda’a alaih (tergugat) atau mudda’i (penggugat).
e)      Al-mahkum lahu
           Yaitu penggugat suatu hak, yang merupakan hak manusia semata-mata (hak perdata), atau hak yang lazimnya merupakan hak manusia semata-mata. Mahkum lah harus melakukan sendiri gugatan atas haknya atau dengan perantaraan orang yang diberi kuasa olehnya, dan ia harus datang sendiri ke persidangan atau wakilnya. Adapun bila hak itu merupakan hak Allah semata, maka mahkum lah-nya adalah syara’. Dalam hal ini, tuntutan bukan datang dari perorangan, tetapi sesuai syari’at Islam. Tuntutan itu dilakukan oleh lembaga penuntut umum.









C.Prinsip-Prinsip Peradilan
Negara-negara modern melaksanakan kepentingannya dengan menggunakan tiga kekuasaan, yaitu;
1)      Kekuasaan perundang-undangan/as-sulthoh at-tasyri’iyyah yang berwenang membuat undang-undang.
2)      Kekuasaan eksekutif/as-sulthoh at-tanfidziyyah yang bertugas melaksanakan undang-undang.
3)      Kekuasaan kehakiman/as-sulthoh al-qodlo’iyyah yang berwenang menerapkan undang-undang untuk menyelesaikan perselisihan dan menegakkan keadilan di antara manusia.
Kita lihat bahwa kekuasaan peradilan/kehakiman itu terpisah dari dua kekuasaan yang lain. Ini berarti bahwa kedua kekuasaan/lembaga lainnya tidak diperkenankan mengintervensi/ ikut campur dalam perkara-perkara atau urusan peradilan. Teori pemisahan kekuasaan ini memunculkan prinsip-prinsip penting dalam peradilan Islam yang jumlahnya ada delapan (8) yaitu:
a.       Istiqlal al-qodlo’(kemerdekaan kehakiman)
          Kekuasaan kehakiman itu merdeka/berdiri sebagai lembaga kekuasaan tersendiri. Tujuannya adalah untuk menjaga peradilan agar tidak terkena pengaruh atau dengan kata lain untuk menghindari adanya turut campur dua kekuasaan lain; legislatif dan eksekutif. Ini adalah hal yang bagus dan rasional dalam tatanan hukum. Prinsip ini sudah ada sejak masa Rasulullah SAW hidup.
b.      Al-Musawah amamal qodlo’ (kesamaan di hadapan hukum)
         Kebanyakan orang beranggapan bahwa prinsip kemerdekaan, persaudaraan, dan persamaan itu tidak dikenal sebelum meletusnya revolusi Prancis pada akhir abad ke-18 M. Padahal sebenarnya prinsip itu telah dikemukakan baik dalam al-qur’an, hadits, dan ucapan Khulafa’ur Rosyidin sejak abad ke-7 masehi. Dalam mengadili, Rasulullah SAW selalu bersikap sama di antara pihak yang berselisih. Begitu juga yang dilakukan oleh para khulafa’ur rosyidin.

Amirul mu’minin Umar ibn al-Khatthab r.a pernah memberikan nasehat kepada seorang qodli: “bersikaplah sama di antara manusia di hadapanmu dalam pernyataan dan keputusan. Sehingga orang yang mulia tidak berharap kemenangan perkara dalam keculasanmu, dan orang yang lemah tidak putus asa dari keadilanmu.”
c.       Majjaniyatul qodlo’ (peradilan gratis)
          Di negara-negara Islam, sejak dulu tidak pernah ada qodli yang boleh memungut biaya dari orang yang berperkara ke pengadilan. Hal ini untuk menunjukkan kedermawanan dan tidak adanya sikap tamak dalam diri sang Hakim/qodli. Pemerintahan Islamlah yang menggaji mereka (para qodli). Prinsip seperti ini tidak dikenal oleh negara-negara eropa kecuali setelah revolusi Prancis. Akan tetapi, dengan adanya prinsip ini bukan berarti orang yang berperkara tidak menyerahkan uang sama sekali ke pengadilan. Undang-undang positif mengharuskan penyerahan sedikit biaya untuk mengurus (administrasi) perkara yang diajukan.
d.      At-taqodli ‘ala darojatain aw al-isti’naf (upaya hukum naik banding).
          Berdasarkan prinsip ini, orang berperkara yang telah mendapatkan keputusan hukum atas suatu kasus di pengadilan tingkat pertama, boleh mengajukan kasus itu lagi ke pengadilan yang lebih tinggi alias naik banding untuk mendapatkan keputusan hukum lagi atas kasus tersebut. Pengadilan yang lebih tinggi ini mempunyai kemerdekaan atau kebebasan untuk menentukan, apakah keputusan pertama atas kasus itu (hasil pengadilan sebelumnya) dikukuhkan , diganti, atau dibatalkan. Prinsip ini telah dikenal luas dalam semua undang-undang positif. Prinsip ini mempunyai faedah yang penting. Ia mendorong qodli/hakim untuk berhati-hati dan mengerahkan usaha maksimal dalam menangani kasus yang diajukan kepadanya. Karena hakim tersebut tahu bahwa hukum yang ia putuskan akan mungkin ditampakkan/diperlihatkan lagi di kemudian hari (di pengadilan banding), jika ternyata ada kekeliruan dalam keputusannya itu. Sehingga hal ini mendorong sang hakim untuk ber-ijtihad dan melakukan penelitian secara mendalam agar hukum yang ia putuskan tidak diganti atau dianulir.

e.       Al-qodlo’ fil Islam yaqumu ‘ala nidhomi al-qodli al-fard (kehakiman Islam menerapkan aturan hakim tunggal).
            Dalam sistem peradilan Islam, yang memutuskan perkara di antara manusia adalah seorang qodli saja. Dalam kondisi ada kebutuhan, Fuqoha’ memperbolehkan sang hakim didampingi beberapa Ulama’ sebagai pendamping yang akan memberikan sumbangan pendapat pada hakim. Akan tetapi mereka (ulama’) tidak boleh ikut campur dalam memutuskan hukum atas kasus yang disidangkan. Pendapat mereka hanya sebagai pertimbangan seperlunya bagi hakim. Jadi yang memutuskan hukum tetap sang hakim/qodli itu sendiri.
f.       ‘Alaniyatu majlisil qodlo’ (sidang peradilan yang terbuka)
         Fuqoha’ bersepakat atas terbukanya pengadilan. Bahwa pengadilan dilaksanakan secara terbuka. Sebagaimana Rasulullah menyelenggarakan persidangan di masjid.
g.      Hushulul ijro’at fi muwajahatil khushum (mempertemukan pihak yang berselisih)
         Keputusan hukum tidak bisa dijatuhkan sebelum kedua belah pihak terkait dipertemukan (saling mengetahui dan didengarkan pendapatnya masing-masing). Mengenai pihak berperkara yang ghaib (tidak hadir dalam persidangan), ada kaedah-kaedah tersendiri yang mengaturnya, sehingga hak masing-masing pihak tetap terjaga.
h.      Sulthotul qodli fil fiqhi al-islamiy (kekuasaan kehakiman dalam fikih Islam)
          Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, walaupun sudah ada undang-undang positif yang diterapkan, fikih (hukum Islam) tetap menjadi pijakan dalam menetapkan, mengganti atau menganulir hukum.















D.Sistem Peradilan Dalam Islam
Lembaga peradilan adalah lembaga yang bertugas menyampaikn keputusan hukum yang bersifat mengikat. Dasar  dan dalil disyariatkannya lembaga peradilan ini adalah : (QS : Al-Maidah:49)

49.  Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.

“Jika dua orang menghadapmu meminta keputusan, janganlah engkau tergesa-gesa memutuskan perkara diantara mereka sebelum engkau mendengarkan perkataan pihak yang lain, sehingga engkau akan tahu bagaimana seharusnya engkau memutuskan perkara diantara mereka itu.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)













E.Hikmah Peradilan Dalam Islam
a. Terciptanya keadilan dalam masyarakat, karena masyarakat memperoleh hak-haknya.
b. Terciptanya perdamaian, karna masyarakat memperoleh kepastian hukumnya dan diantara masyarakat saling menghargai hak-hak orang lain. Tidak ada yang berbuat semena-mena karena semuanya tlah diatur oleh undang-undang.
c. Terciptanya kesejahteraan masyarakat.
d. Terwujudnya aparatur pemerintahan yang jujur,bersih dan berwibawa.


F.Fungsi Lembaga Peradilan Agama
Untuk   melaksanakan   tugas  -  tugas   pokok   tersebut  Pengadilan  Agama mempunyai fungsi sebagai berikut :
a.   Fungsi Mengadili (judicial power), yaitu memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama di wilayah hukum masing-masing ;
       (vide Pasal 49 Undang - Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang - Undang No. 3 Tahun 2006) ;
b.   Fungsi Pengawasan, yaitu mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera / Sekretaris, dan seluruh jajarannya (vide : Pasal 53 ayat (1) Undang - Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang - Undang No. 3 Tahun 2006) ;
       Serta terhadap pelaksanaan administrasi umum. (vide : Undang - Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
        Pengawasan tersebut dilakukan secara berkala oleh Hakim Pengawas Bidang ;
c.   Fungsi Pembinaan, yaitu memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada jajarannya, baik yang menyangkut tugas teknis yustisial, administrasi peradilan maupun administrasi umum. (vide : Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) ;
d.   Fungsi Administratif, yaitu memberikan pelayanan administrasi kepaniteraan bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi, perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya. Dan memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama (Bidang Kepegawaian, Bidang Keuangan dan Bidang Umum) ;
e.   Fungsi Nasehat, yaitu memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam pada instansi pemerintah di wilayah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ;
f.    Fungsi lainnya, yaitu pelayanan terhadap penyuluhan hukum, riset dan penelitian serta llain sebagainya,  seperti  diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI. Nomor : KMA/004/SK/II/1991

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengadilan merupakan badan Peradilan dan bersifat konkrit. Bila diperkenankan, antara Pengadilan dan Peradilan dapat dianalogikan dengan gelas serta airnya. Pengadilan berkedudukan sebagai gelas yang merupakan wadahnya, sedangkan Peradilan berkedudukan sebagai airnya yang merupakan isi dari gelas tersebut. Jadi, kita dapat merasakan fungsi gelas tersebut bila telah diisi air, yaitu untuk minum. Begitu pun Pengadilan dan Peradilan, yang dapat kita rasakan fungsinya bila telah mengetahui kedudukan masing-masing. Dengan demikian, semoga tulisan ini mampu membantu pembaca dalam membedakan Pengadilan serta Peradilan dan, diharapkan tidak lagi keliru dalam menggunakan kata Pengadilan serta Peradilan.

Saran
Dengan kita melihat ke belakang ke sejarah mengenai peradilan agama, hendaknya peraturan perundang-undangan mengenai peradilan agama menjadi lebih baik, mengingat perjuangan masyarakat yang berusaha mempertahankan keberadaan peradilan agama.
Selanjutnya dengan adanya peraturan perundang-undangan yang lebih baik, maka para penegak hukum, hendaknya bertindak secara maksimal sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, untuk menghindari adanya penyelewengan hukum.
Dan juga, kami mengharapkan kepada rekan-rekan seperjuangan untuk kita bersama – sama mempelajari tentang Peradilan Islam , agar kita bisa memahami dan bisa mempelajari tentang Peradilan Peradilan Islam Di Indonesia ini.





                      DAFTAR PUSTAKA

Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, Bandung : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati, 2011.

http://kuliahhukumindonesia.blogspot.com/2009/01/pengertian-peradilan-dan-pengadilan.html

http://peradilandiindonesia.blogspot.com/2012/03/prinsip-dan-unsur-peradilan-islam.html

http://blog.uin-malang.ac.id/mujahidah1453/2011/02/10/keistimewaan-sistem-peradilan-islam/
Qosim,M.Rizal,2013,Pengamalan Fiqih.Solo;PT.Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Makalah fikih Pemberontakan ( bugot )


Makalah fikih
Pemberontakan ( bugot )















 Kelompok 6 :
1.  Ayu Nirmala
2.   Elvan Kurniawan
3.   Linda Apriliani
4.   Ridho Syahroni
5.   Siti Urwatul Uskok

MAN 2 MODEL MATARAM
2014/2015
KATA PENGANTAR
                  
Assalamualaikum wr.wb.
                       Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka kami dapat menyelesaikan sebuah karya tulis dengan tepat waktu.
                      Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Pemberontakan " yang mmenurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kami untuk mempelajari karya tulis ini.
                       Melalui kata pengantar ini kami lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggu perasaan pembaca.
                      Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.



Mataram, 15 November 2014




DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................
1.1 Latar Belakang.......................................................... 1   
1.2 Tujuan  ..................................................................... 1             
1.3 Rumusan Masalah.................................................... 1   
BAB 2 PEMBAHASAN.......................................................... ......
2.1 Pengertian Peradilan dan Pengadilan........................ 2
2.2 Unsur-Unsur Peradilan Islam ..................................  3
2.3 Prinsip- Prinsip Peradilan......................................... 5
2.4 Sistem Peradilan Dalam Islam.................................. 8
2.5 Hikmah Peradilan Dalam Islam................................ 9
2.6 Fungsi Lembaga Peradilan Agama............................ 10
BAB 3 PENUTUP................................................................... ......
3.1 Kesimpulan............................................................... 11 
3.2 Saran    ..................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA...................................................................... 12









BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Perdamaian adalah salah satu prinsip yang ditanamkan oleh ajaran Islam kepada kaum
muslimin, karena kata Islam yang menjadi nama agama berasal dari kata As-Salaam yang artinya perdamaian. Karena As-salam dan Al-islam itu sama-sama bertujuan menciptakan ketentraman, keamanan, dan ketenangan. Akan tetapi jika hubungan yang semestinya terjalin itu menjadi pecah,dan putusnya tali persaudaraan, sehingga sebagian berbuat dzalim kepada yang lain, maka pada saat itu kaum bughat (pemberontak) wajib diperangi. Pemberontakan menurut arti bahasa adalah mencari atau menuntut sesuatu . Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama mazhab yang berbeda-beda.
      1.      Imam Al-Mawardi mendefinisikan pemberontakan adalah segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.
2.      Sedangkan ulama syafi’i mengartikan pemberontakan adalah orang-orang muslim yang menyalahi imam dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan, argumentasi, dan pikiran. Dalam hal ini, antara perampokan dengan pemberontakan terdapat beberapa kemiripan. Sehubungan dengan adanya kemiripan tersebut, maka orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan tidak mau tunduk kepada pemerintahan di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
1.      orang-orang yang membangkang tanpa alasan, baik dengan menggunakan kekuatan maupun tidak dengan kekuatan, mereka mengintimidasi, mengambil harta, dan membunuh korbannya. Mereka ini termasuk kelompok perampok.
2.Orang-orang yang membangkang tetapi mereka tidak memiliki kekuatan, meskipun  mereka mempunyai alasan. Mereka juga termasuk kelompok perampok.
3. Orang-orang yang membangkang kepada pemerintahan yang sah dengan alasan pemerintahannya menyeleweng, melakukan maksiat, dan lain-lain yang oleh mereka dianggap bertentangn dengan prinsip-prinsip Islam, lalu mereka menggunakan kekuatan untuk mencapai tujuannya.  Mereka inilah yang disebut dengan pelaku pemberontakan. Salah satunya yaitu konflik yang terjadi di Indonesia dulu, yaitu konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM). [1]
1.2  Tujuan
































BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Bugot
Bugot  menurut bahasa adalah mencari, menghendaki, menginginkan,melampaui batas, zalim. Pemberontakan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses, cara, perbuatan memberontak; penentangan terhadap kekuasaan yang sah. Sedangkan menurut istilah, Bugot adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Imam yang sah tanpa alasan. Pemberontakan merupakan upaya melakukan kerusakan. Islam memerintahkan Pemerintah untuk berunding, dan diperangi apabila tidak bersedia kembali bergabung dalam masyarakat. Bahkan mayatnya tidak perlu dishalati seperti yang lakukan oeh Ali bin Abi Thalib. Kata al-baghyu artinya dzalim atau aniaya, sedangkan kata al-baaghy menurut istilah ulama adalah orang yang menentang pemerintah yang adil dan tidak mau melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.
2. Jinayah Perbuatan Pemberontakan
Jarimah mengenai jinayah perbuatan makar atau al-baghyu telah diatur dalam nash baik al-quran maupun sunnah selain telah diatur dalam hukum pidana islam perbuatan inipun telah dibahas dalam regulasi pemerintahan Indonesia yang biasa disebut dalam Undang-undang sebagai kejahatan terorisme. Pidana tentang terorisme gancar dibuat serentak dengan gencarnya serangan dari pelaku terorisme. Pidana terorisme dapat dipandang dari dua sudut, yaitu dipandang dari sudut Fikih Jinayah dan Regulasi pemerintahan Indonesia berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana terorisme dapat dipandang dari sudut Fikih Jinayah karena di dalam tindakan terorisme ada unsur-unsur yang serupa dengan pemberontakan, pembunuhan, dan penganiayaan atau pencederaan. Yang pidananya telah diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadis.
3.Bugot  Dipandang Dari Sudut Pandang Fikih Jinayah
         Para mujtahidin sepakat, apabila seseorang atau sesuatu golongan memberontak terhadap negara dengan cukup alasan, dibolehkan kepala negara memerangi mereka sehingga mereka kembali kepada kebenaran. Apabila mereka menyadari kesalahan, hendaklah dihentikan penumpasan. Jadi menumpas pemberontakan adalah wajib karena dari segi perbuatan ini sudah menyalahi hukum Allah, maka dia termasuk pada perbuatan maksiat dan oleh karena terhadap pelakunya dikenai ancaman yang bersifat fisik di dunia, maka tindakan tersebut termasuk pada jinayah atau jarimah hudud.[2]
2.2 Dasar Hukum Bugot      
           
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ …
Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah”  (QS Al-Hujurat [49]:9)
Namun demikian, Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari dalam Fathul Wahhab (II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini memang tidak disebut ‘memberontak kepada imam’ secara sharih, akan tetapi ayat tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas golongan lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut lagi.”
Selain itu, syarat ini ditunjukkan secara jelas oleh hadits yang menjelaskan tercelanya tindakan memberontak kepada imam (al-khuruj ‘an tha’at al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :
… مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً … ( روه مسلم عن أبي هريرة )
Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim No. 3436 dari Abu Hurairah).
2.3 Syarat-syarat Bugot
Bughat berasal dari kata bagha yang artinya secara harfiah berarti melampaui batas. Secara maknawiyah, bughat adalah apabila seseorang atau suatu kelompok memenuhi syarat-syarat antara lain:
Syarat pertama, adanya pemberontakan kepada khalifah (imam) (al-khuruuj ‘ala al-imam). Hal ini bisa terjadi misalnya dengan ketidaktaatan mereka kepada khalifah atau menolak hak khalifah yang mestinya mereka tunaikan kepadanya, semisal membayar zakat. Syarat pertama ini, memang tidak secara sharih (jelas) disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ …
Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah …” (QS Al-Hujurat [49]:9)
Namun demikian, Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari dalam Fathul Wahhab (II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini memang tidak disebut ‘memberontak kepada imam’ secara sharih, akan tetapi ayat tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas golongan lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut lagi.”
Selain itu, syarat ini ditunjukkan secara jelas oleh hadits yang menjelaskan tercelanya tindakan memberontak kepada imam (al-khuruj ‘an tha’at al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :
… مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً … ( روه مسلم عن أبي هريرة )
Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim No. 3436 dari Abu Hurairah).
Akan tetapi yang dimaksud imam atau khalifah, bukanlah presiden atau raja atau kepala negara lainnya dari negara yang bukan negara Islam (Daulah Islamiyah/Khilafah). Menurut Abdul Qadir Audah, “[Yang dimaksud] Imam, adalah pemimpin tertinggi (kepala) dari Negara Islam (ra`is ad-dawlah al-islamiyah al-a’la), atau orang yang mewakilinya…” (At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, Juz II hal. 676). Dengan demikian, pemberontakan kepada kepala negara yang bukan khalifah, misalnya kepada presiden dalam sistem republik, tidak dapat disebut bughat, dari segi mana pun, menurut pengertian syar’i yang sahih.
Syarat kedua, mempunyai kekuatan yang memungkinkan kelompok bughat untuk mampu melakukan dominasi. Kekuatan di sini, sering diungkapkan oleh para fuqaha dengan istilah asy-syaukah, sebab salah satu makna asy-syaukah adalah al-quwwah wa al-ba`s (keduanya berarti kekuatan) (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 501). Para fuqaha Syafi’iyyah menyatatakan bahwa asy-asyaukah ini bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak (al-katsrah) dan adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang ditaati (Asna Al-Mathalib, IV/111). Dengan demikian, jika ada yang memberontak kepada khalifah, tetapi tidak mempunyai kekuatan, misalnya hanya dilakukan oleh satu atau beberapa individu yang tidak membentuk kekuatan, maka ini tidak disebut bughat.
Syarat ketiga, mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Para fuqaha mengungkapkan syarat penggunaan senjata dengan istilah man’ah, atau terkadang juga dengan istilah asy-syaukah, karena asy-syaukah juga bisa berati as-silaah (senjata). Dalil syarat ketiga terdapat dalam ayat tentang bughat (QS Al Hujurat : 9), yaitu pada lafazh اقْتَتَلُوا (kedua golongan itu berperang). Ayat ini mengisyaratkan adanya sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silaah). Selain dalil ini, ada dalil lain berupa hadits di mana Nabi SAW bersabda :
مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّّلاحَ فَلَيْسَ مِنّاَ ( متفق عليه عن ابن عمر )
Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.” (Shahih Bukhari No. 6366, Shahih Muslim No. 143.)
Dengan demikian, jika ada kelompok yang menentang dan tidak taat kepada khalifah, tetapi tidak menggunakan senjata, misalnya hanya dengan kritikan atau pernyataan, maka kelompok itu tak dapat disebut bughat.
Di dalam Islam, pemberontakan sendiri bukanlah sesuatu yang baru. Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a telah banyak mengalami pemberontakan. Peristiwa perang Shiffin merupakan salah satu contoh pemberontakan terhadap amirul mukminin yang pernah terjadi. Peristiwa tersebut diawali oleh peristiwa yang dinamakan Haditsul ifk. Peristiwa itu terjadi ketika Rasul Allah s.a.w. melancarkan ekspedisi terhadap kaum kafir dari Banu Musthaliq. Dalam ekspedisi itu beliau mengajak isterinya, Sitti Aisyah. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Sitti Aisyah ketinggalan dari rombongan, gara-gara mencari barang perhiasannya yang hilang di perjalanan.
Untunglah ketika itu ia dijumpai oleh Shafwan bin Mu’atthal, yang berangkat pulang lebih belakangan. Bukan main terkejutnya Shafwan melihat Ummul Mukminin seorang diri di tengahtengah padang pasir. Isteri Rasul Allah s.a.w. itu dipersilakan naik ke atas unta, sedangkan Shafwan sendiri berjalan kaki sambil menuntun. Siang hari mereka berdua baru memasuki kota Madinah dengan disaksikan oleh orang banyak. Semuanya heran mengapa Ummul Mukminin mengendarai unta seorang pemuda yang tampan itu. Konon Usamah bin Zaid sama sekali tidak dapat mempercayai benarnya desas-desus itu. Sedang Imam Ali r.a. waktu itu mengatakan: Ya Rasul Allah, masih banyak wanita lain! Imam Ali r.a. mengucapkan kata-kata itu hanya sekedar untuk berusaha menenangkan perasaan Rasul Allah s.a.w. yang tampak gelisah. Siti Aisyah mendengar Ali r.a berkata seperti itu merasa tersinggung. Hingga akhirnya kesalahfahaman tersebut akhirnya berujung pada suatu perang.
Selain itu pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib banyak sekali kekuatan lain yang menentang kekhalifahan. Dalam periode itu praktis ummat Islam terpecah dalam tiga kelompok besar:
1. Kelompok Madinah di bawah pimpinan Imam Ali r.a.
2. Kelompok Damsyik di bawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
3. Kelompok Makkah di bawah pimpinan trio Thalhah, Zubair dan Sitti Aisyah r.a.
Masing-masing kelompok ditunjang oleh kekuatan bersenjata yang cukup tangguh dan berpengalaman. Kekuatan anti Imam Ali r.a. ini mempunyai tujuan ganda: menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. dan menggulingkan Imam Ali r.a. dari kedudukannya sebagai Amirul Mukminin. Mereka berpendirian, setelah dua tujuan itu tercapai barulah diadakan pemilihan Khalifah baru dalam suasana bebas dari tekanan dan paksaan. Ujung puncak dari konflik ini adalah meletusnya Perang Shiffin.
2.4 Hukum Bugot
            Fenomena bughat masuk dalam soal kepemimpinan politik atau al-imârah. Dalam soal ini prinsipnya jelas, seperti disebutkan dalam ayat: “Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa’, 4: 59). Di sini ulil amri salah satunya adalah penguasa yang sah, dan karenanya harus ditaati.
Prinsip ketaatan terhadap penguasa yang sah merupakan salah satu hal penting dalam kepemimpinan. Ketaatan di sini bisa bermakna tidak keluar untuk mengangkat senjata, meskipun tidak sesuai dengan aspirasinya. Prinsip ketaatan ini untuk menjaga kelangsungan sistem sosial agar tidak terjadi anarki. Jika ingin melakukan perbaikan, dalam bahasa Imam al-Ghazali disebutkan, untuk membangun sebuah bangunan, tidak perlu merobohkan sebuah kota.
Namun begitu, seorang pemimpin tidak boleh ditaati apabila memerintahkan kepada kemaksiatan. Sesuai sabda Rasulullah saw, “Seorang muslim perlu mendengarkan dan mematuhi perintah, yang disukainya dan tidak disukainya, selama tidak disuruh mengerjakan maksiat (kejahatan). Tetapi apabila dia disuruh mengerjakan maksiat, tidak boleh didengar dan ditatati.” (HR. Bukhari). Sehingga hal yang wajib dilakukan oleh setiap muslim adalah amar makruf nahi munkar. Kritik kepada pemerintah bisa jadi salah satu bentuk amar makruf nahi munkar dan sarana mengingatkan bagi pemimpin, Sebab pemimpin juga memiliki hak untuk diingatkan dan didoakan. Selain itu aksi unjuk rasa, demonstrasi juga termasuk bentuk kritik dan mengingatkan pemimpin, bukan merupakan bentuk bughat atau pemberontakan. Namun begitu ada perkara yang menyebabkan bolehnya keluar ketaatan dari penguasa sedikitnya harus memenuhi 4 syarat:
1.Penguasa itu jatuh pada kekafiran yang nyata, yang kita memiliki bukti di sisi Allah akan hal itu.
Dari Junaada bin Umayyah, ia berkata: kami pernah masuk menemui Ubaadah bin Ash-Shaamit yang ketika itu ia sedang sakit. Kami berkata :”Semoga allah memperbaiki keadaanmu. Ceritakanlah kepada kami hadis yang Allah telah memberikan manfaat kepadamu dengannya, yang telah engkau dengar dari Rasulullah saw.” Ia berkata: “Nabi saw pernah memanggil kami lalu membaiat kami. Dan diantara baiatnya adalah agar kami berbaiat untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan sewenang-wenang. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari ahlinya (orang yang berhak).” Beliau saw berkata: “kecuali jika melihat kekufuran yang nyata , yang kalian memiliki bukti di sisi Allah.”  [HR. Bukhari no.7056 dan Muslim no.1709].
2.  Telah ditegakkan hujjah padanya.
Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin-walau ia bersalah atau keliru-sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan padanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah tetap keislaman padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali telah ditegakkan padanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’al Fattaawaa 12/466]
3.  Mempunyai kemampuan untuk menurunkannya
Dari Abu Sa’id Al Khudriy r.a ia berkata : “Aku mendengar rasulullah saw bersabda : Barangsiapa melihat kemunkaran maka rubahlah ia dengan tangannya. Jika tidak mampu rubahlah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)
4.  Kerusakan akibat keluar ketaatan darinya tidak lebih besar daripada menaatinya
Ibnu Taimiyyah pernah berkata apabila amar ma’ruf dan nahi munkar mengkonsekuensikan kerusakan yang lebih banyak daripada kebaikannya, maka perbuatan itu tidaklah disyariatkan. Para pengikut imam Ahlus-Sunnah membenci peperangan dalam masa fitnah yang dinamakan oleh para pengikut hawa nafsu sebagai amar ma’ruf nahi munkar, karena yang demikian itu apabila menimbulkan fitnah yang lebih besar kerusakannya daripada meninggalkan amar makruf nahi munkar, tidaklah boleh menolak kerusakan yang lebih kecil dengan mendatangkan kerusakan yang lebih besar. Bahkan seharusnya menolak kerusakan yang lebih besar dengan menanggung kerusakan yang lebih kecil. Hal itu sebagaimana sabda Rasul saw : “Maukah kalian aku beritahukan sesuatu yang lebih utama daripada derajat puasa, shalat, sadaqah dan amar makruf nahi munkar?” Mereka (sahabat) menjawab: “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: Memperbaiki hubungan antara dua orang yang berselisih, karena kerusakan hubungan itu merupakan ‘pencukur’. Aku tidak mengatakannya pencukur rambut, akan tetapi ia adalah pencukur agama.” [Al-Istiqamah, 1/330].
Itulah syarat-syarat yang tentunya tidak mudah apabila seorang muslim dikatakan boleh keluar dari ketaatan terhadap pemimpin. Syarat-syarat di atas harus terpenuhi, jika salah satu syarat saja hilang maka tidak boleh keluar ketaatan dan atau mengangkat senjata kepada penguasa. Hal ini sekaligus menujukkan bahwa Islam selalu mengajarkan umatnya sedapat mungkin untuk tetap taat kepada pemimpin yang sah. Sebab azab Allah juga menunggu bagi siapa orang yang tidak taat kepada ulil amri yang sah.[3]
2.5 Hikmah Bugot
Dilarangnya perbuatan bughat mengandung hikmah yang  sangat banyak bagi kaum muslimin, dan umat islam pada umumnya, di antaranya:
a.       Terciptanya situasi dan kondisi Negara yang aman.
b.      Hilangnya rasa was-was dan ketakutan masyarakat.
c.       Terjalinnya kesatuan dan persatuan antara komponen bangsa.
d.      Program pembangunan yang dicanangkan pemerintah dapat direnanakan dengan mulus.
e.       Secra bersama-sama dapat menciptakan suatu Negara yang subur makmur yang mendapat ridho Alah SWT.
2.6 Perilaku Menghindari Bugot

 Untuk dapat menjauhi sikap perilaku bughat hendaknya diperhatikan beberapa hal berikut:
·         Tanamkan keyakinan bahwa perbuatan bughat dilarang dalam agama islam.
Tanamkan keyakinan bahwa melakukan perbuatan bughat hanya akan merigikan diri sendiri.
Tanamkan keyakinan bawna perbuatan membangkang merupakan sikap tercela.
Berdo’alah kepada Allah agar diberi kekuata untuk menjauhi sikap bughat.
                              





1. http://kadelang.blogspot.com/2012/06/v-behaviorurldefaultvmlo.html

[2] http://kumpulanmakalah123.blogspot.com2013/03/bughat-pemberontakan.html
[3]  http:/www.makalahkuliah.com/2012/10/kepemimpinan-dalam-politik-islam.html
www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net