”ITU
MENGGANGUKU,APA KAMU SUDAH SIAP”
“Ara…”
sapa Dana, “hm.. ada waktu sebentar ga? Aku mau ngobrol bisa ga?”
“Eh,
iya, Dan.. Kenapa ya?”
“Ehmmm…
Kalo misal kita ketemuan gitu gimana? Ga enak ngomongnya kalo lewat telpon
gini” Dana mengajak Ara ketemuan.
Hening.
Ara
bingung, dia menduga duga apa yang sekiranya akan Dana bahas.
Ara
mulai menebak, masalah dakwah minggu depan kah, masalah kunjungan panti asuhan
atau masalah sanitasi air di mushola yang agak terganggu.
Kembali
Ara berpikir, ‘ah pasti tetang kunjungan
panti asuhan’.
“Oh, iya, bisa, nanti aja sekalian di
forum” jawab Ara atas ajakan Dana.
Memang, nanti ba’da ashar akan ada
forum pembahasan tentang kunjungan panti itu.
Kunjungan yang akan diadakan 2 minggu
lagi.
“M-misal…” Dana tertahan untuk
melanjutkan kata katanya, “misal kita ngobrolnya setelah forum gimana?”
“Setelah forum? Lho, mau ngobrol apa
sih? Kalo emang ada kendala di divisi kamu, mending diobrolinnya di forum aja”
Ara belum tau apa yang sebenarnya akan Dana utarakan, ia masih berpikir obrolan
itu membahas kunjungan sosial.
“Eh, ya udah deh, lihat nanti aja..
sampe ketemu di sekre ya, Ara.. Hm.. Ara janga lupa makan ya sebelum ke sekre,
kan nanti kita butuh tenaga buat berpikir..” mulai perhatian yang menjurus
nampaknya.
“Iya, makasih ya… lhoo.. ehh… kok udah
dimatiin, salamnya mana ya???” terheran si Ara ini.
Setelah diskusi dalam forum usai, Dana
menghampiri Ara yang sedang berjalan keluar dari Gedung Student Center.. [lho..
kok tiba tiba udah selesai acaranya?? Banyak banget yang di-skip?? Suka suka
gue lah, pan gue yang buat ceritanya..]
“Ara..” panggil Dana.
“Iya” jawab Ara.
Dana menghampiri Ara yang sedang duduk
duduk di teras Student Center, hanya 3 meter dari temapt Dana berdiri.
“Eh, gimana, mau ngobrol apa?” Tanya Ara.
“Hm….” Terbata Dana dalam
mengutarakannya “G-gini Ara, aku mau ngomomng sesuatu yang… yang gimana ya..
yah, sesuatu yang penting bagi aku, tapi mungkin kurang berkenan di hati Ara”.
“Ya udah deh, Ara.. Aku jalan dulu ya,
nanti aku kabarin deh susunan acaranya” kawan ara yang tadi duduk di samping
Ara memilih untuk pergi ketika tau gelagat Dana yang ingin ngobrol ‘in private’
dengan Ara. Memang jelas terpancar di muka Dana kalau dia ingin mengutarakan
sesuatu 4 mata, seolah matanya berkata ‘minggir lo… gue mau bicara serius ama
Ara’.
“Lha, kok gitu… Dibahas di sini aja
deh, Shab..” cegah Ara saat Shabrina meninggalkannya.
Ya, nama kawannya itu Shabrina.
Dana mengambil langkah, ia duduk di
bangku yang di tinggalkan oleh Shabrina.
Spontan, Ara menggeser bangku itu
sekitar 30 centimeter ke kanan.
“Gini, Ara…” mulut tiba tiba kering,
jantung berdebar, tangan berkeringat dan guntur mulai menggelegar [yang
terakhir itu Cuma bercanda] ketika Dana membuka mulut.
“Aku mau bilang sesuatu, sebenarnya ini
sudah lama aku mau sampaikan, tapi aku masih ragu ragu.”
“Tentang apa nih? Tentang lokasi panti
yang mau kita kunjungi ya? Iya sih, aku rasa panti itu udah cukup mumpuni,
mereka aja punya mobil panti, kalo menurut aku sih mendingan kita pilih panti
yang benar benar membutuhkannya.” Begitulah Ara, masih berpikir kalo ini akan
membahas kunjungan social.
Tersirat rona kecewa di wajah Dana.
“Bukan, bukan itu, Ra, yang mau aku
omongin”
“Lantas?” Tanya Ara mulai penasaran.
“Aku di sini mau ngungkapin sesuatu..”
ujar Dana, lirih…
“Sesuatu?”
“Iya, Ra.. Sesuatu dari hati”
“Eh, dari hati? Maksudnya apa, Na?
“Maaf sebelumnya” sembari mengeser
posisi duduknya untuk lebih condong kea rah kanan, menghadap lawan bicaranya.
Ya, kea rah Ara,dan nampak Ara mulai terganggu dengan kondisi ini, tapi dia
lebih memilih diam dan mendengarkan apa yang akan Dana utarakan.
“Aku…”
“Aku menaruh hatiku ke kamu, Ra”
akhirnya terucap juga kata kata yang telah Dana pendam sekian lama.
“Sudah lama aku menaruh hati ke kamu”
Tersentak, merasa dilecehkan, itu yang
Ara rasakan.
Bukan kegembiraan, bukan bunga bunga
yang ia lihat saat ini, tapi nyala api nun jauh di sana yang semakin mendekat.
“Aku tau ini salah, tapi musti
bagaimana lagi, aku ga bisa terus terusan menahan rasa ini”
Terdiam kini keduanya.
“Aku ga bermaksud meminta kamu jadi
pasanganku, aku hanya mengutarakan…”
Makin hening keduanya.
Dari api yang membara di ujung sana,
kini telah berubah menjadi bunga sakura yang bertebaran..
Indah, harum dan menenangkan.
Itu yang Ara rasakan.
Bukan karena apa yang diucapkan Dana,
tapi karena ada Abang Jual Batagor yang lewat.
“Dana, aku belum makan, aku mau beli
batagor dulu. Sebentar ya..” kata Ara.
“Bang, batagornya seporsi dibungkus
ya.. Sambelnya banyakin, ga pake kecap ya bang..”
“Iya, neng..” kata Abang itu menerima
pesanan Ara.
Ara kembali ke tempat duduknya, sebelum
duduk, ia kembali mengeser bangku itu kea rah kanan, menjauh dari Dana.
Bagaimana dengan Dana? Dia masih
membatu, bukan karena durhaka pada ibunya, tapi karena dia tidak menyangka
telah mengutarakan perasaannya.
“Dana…” kata Ara datar.
“Ya, aku merasa tersinggung dengan apa
yang sudah kamu sampaikan” kata Ara tanpa memandang Dana, ia mengamati si Abang
yang sedang meracik batagor. [bukan berarti Ara suka sama Abang Batagor itu lho
ya]
“Aku tau itu pernyataan bukan
pertanyaan, tapi itu akan menganggu ku Dana, aku harap kamu ga mengingat apa
yang kamu ucapkan tadi karena aku juga ga akan mengingat kejadian ini.”
“Oh, iya…” lanjut Ara “Jangan biarkan
rasa itu ada, pangkaslah, pangkas sekarang juga. Ingat saja keburukanku supaya
kamu bisa menghilangkan rasa itu”
“Lho, kenapa harus ku hilangkan rasa
itu?” Tanya Dana…
“Emangnya ada yang salah sama rasa itu?
Bukannya itu fitrah ya?”
“Rasa itu memang fitrah, tapi apa kamu
sudah berpikir dengan matang dengan mengutarakan rasa itu? Apa kamu udah
memikirkan dampaknya bagi kamu dan orang yang bersangkutan?” masih memandang
Abang Batagor Ara bicara.
“Jelas, Ara.. Aku sudah memikirkannya
sejak lama” jawab Dana.
“Apa kamu sudah yakin pada rasa itu?
Apa kamu yakin itu bukan nafsu?” tanya Ara.
“Rasa ini tulus, dari hati” Dana
berusaha meyakinkan orang di depannya, Ara.
“Oh, ya sudah.. Terima kasih ya..” kata
Ara, singkat dan ambigu.
“Sudah? Terus jawaban Ara?” Dana
tercengan oleh respon Ara.
“Jawaban? Jawaban apa?”
“Jawaban dari apa yang sudah aku
katakana..”
“Bukannya itu hanya pernyataan?”
“Tapi…” belum selesai kata katanya, Ara
sudah menyela.
“Dana, tadi kamu bilang itu hanya
pernyataan, jadi memang ga ada jawaban” jawab Ara.
“Nah, terbukti kan, kamu ada ambisi
untuk meminta jawaban. Itu sungguh mengganggu” lanjutnya.
“Tapi, paling enggak kamu bilang apa
yang kamu rasakan ke aku, mudah kan…” kejar Dana.
“Mudah? Dana, perasaan ini tidak
semudah yang kamu lihat di tv. Tidak semudah orang jatuh cinta pada pandangan
pertama. Tidak sesimpel itu. Ini rumit” jelas Ara.
“Apa kamu sudah memikirkan betapa
seriusnya ucapan itu? Itu sama halnya kamu berkata ‘Ara, aku mau mengkhitbah
mu’, begitu. Kalo memang seperti itu adanya, jangan tanyakan padaku, tapi pada
orang tuaku. Tapi kalo bukan seperti itu yang kamu pikirkan, maka yang kamu
rasakan itu hanya nafsu belaka”
“Daripada terjadi fitnah, sebaiknya
kita akhiri diskusi ini di sini. Maaf, aku harus pulang”
“Tunggu dulu, aku masih ingin bicara”
cegah dana saat Ara mulai berdiri.
“Maaf, aku harus pulang”
“Kenapa?” tanya Dana.
“Karena batagorku sudah jadi, aku mau
makan batagor itu saat hangat di kost. Assalamualaikum”
Ara berjalan menuju gerobak, membayar
dan menuju parkiran motor. Beberapa saat kemudian hanya punggungnya yang
terlihat. Semakin mengecil dan menghilang di kejauhan.
“Waalaikumsalam” jawab Dana ketika
sosok Ara tak lagi terlihat.
Tamat..
Hiks… Hiks… Hiks…
Haru banget ya, chuy ceritanya..
Ga nyangka gue bisa buat cerita
begitu..
[takabur mode active]
SEBUAH DIALOG PAGI HARI
ada sebuah cerita di sebuah rumah di desa di
pagi hari , antara anak laki-laki dan ibunya
begini kisahnya . .
sang Anak telah duduk di teras rumah ,
liburan semester ini ia pulang setelah sekian lama , ibunya membenarkan
kerudung hadiah dari anaknya ini. Memantas-mantaskan diri di depan cermin ,
lantas keluar
Ibu : bagaimana ? bagus tidak ?
Anak : cantik sekali ibu . .
Ibu : hahahaaa pintar menggombal juga kau Nak
Anak : . . . . . *muka datar -______-'
Kemudian ibu masuk ke dalam dan keluar lagi
membawa 2 gelas teh hijau.
Ibu : nak , hari gini ini banyak sekali ya
perempuan yang sudah berkerudung , tidak seperti jaman ibu dulu , pake gituan
dilarang
sang Anak menyimak dengan seksama
Ibu : tapi Nak, kerudung itu tidak bisa
memastikan keimanan dan ketakwaan seseorang saat ini.
sang Anak semakin menyimak
Ibu : kemarin Ibu liat ada perempuan
berkerudung bergandengan mesra di tengah jalan , padahal bukan suami istri , di
tempat lain lagi , sama aja.
sang Anak mulai terbawa arus pembicaraan
Ibu : ah , memang kerudung itu tidak bisa
dijadikan acuan 100% saat ini untuk memilih istri Nak
Anak : -____- *muka datar
Ibunya tersenyum
Ibu : tapi ibu berharap punya mantu yang pake
kerudung , asa cantik gitu liatnya teh . .
Kenapa jadi nyarios Sunda -____-'
Ibu : ahaa , ibu punya nasihat buatmu untuk
memilih perempuan yang baik diantara seluruh perempuan Nak
Anak : hmmm apa itu Bu ?
Ibu : pilihlah perempuan yang shalatnya di
awal waktu
Belum sempat sang Anak memotong pembicaraan ,
ibunya melanjutkan
Ibu : kau tau kenapa , itu menjadi tanda
kecintaannya , dia tahu mana yang lebih utama , tanggungjawab dan komitmen. Ia
resah jika harus mengulur-ulur waktu shalat. Apalagi menundanya di akhir waktu.
Hahahaaa
Anak : jadi apa hubungannya sama kerudung
tadi Bu ?
Ibunya tersenyum
Ibu : ahaha ibu liat sih , berkerudung itu
baik , tapi ternyata tidak semua nya bisa disama ratakan saat ini , banyak
perempuan yang berkerudung , ketika adzan mereka masih asyik haha hihi
bercerita tertawa terbahak-bahak sama temenya , lantas tiba2 ketika waktu
shalat mau habis , mereka baru terburu-buru shalat , bahkan ada yang shalat di
waktu-waktu yang seharusnya tidak bisa
Sang Anak tersenyum . . . .
Ibu : kau paham karena menyaksikannya sendiri
di kampusmu bukan ?
KETIKA SAHABAT MENJADI PENGHIANAT
Kalian masing-masing pasti mempunyai sahabat.
Entah itu laki-laki atau perempuan, entah berapa banyaknya, satu atau dua,
entah berapa jauh jarak umurnya dibandingkan kalian.
Sahabat, satu kata yang bermakna bagi kalian. Sahabat adalah teman sejati,
biasanya kita berbagi curhat, rahasia, cerita, dan lain-lain kepada mereka, dan
meminta mereka untuk menyimpan rahasia itu baik-baik agar tak diketahui orang
lain.
TAPI,
Sahabat juga bisa berkhianat.
Ada pula sahabat yang awalnya bisa kita percaya, namun di belakang ternyata ia
memberitahu semua tentang kita.
Tidak percaya? Baca cerita ini :
Hai, namaku Amy. Umurku 13 tahun, dan
bersekolah di Junior High School 5 Cilacap. Saat ini, aku sedang ada dalam masa
liburan panjang akhir semester. Hari Senin besok, aku akan naik ke kelas 8.
Jadi, liburan panjang ini begitu membosankan bagiku.
Aku mempunyai sahabat perempuan, yang bernama Milly. Dia anak yang ramah.
Awalnya, aku senang bersahabat dengannya. Karena dia dapat dipercaya, juga
bukan mulut ember. Tapi lama-kelamaan, aku membencinya. Apalagi karena kejadian
malam minggu kemarin.
Hari itu, aku sedang saling mengirim pesan
dengan Milly dan Catherine. Aku bercerita banyak kepada Milly, bagaimana aku
menyukai seseorang yang disitu kusebutkan namanya. Dan bagaimana orang itu
menanggapi perasaanku dengan cara menyatakan perasaannya padaku tanggal 22 Juni
kemarin. Milly sangat antusias, ia pun bertanya kepadaku akan hal itu.
Satu-satunya hal yang kuingat adalah ini:
“Amy, kau sedang memikirkan Willy, benar?”
Ya, nama orang yang kusukai itu adalah Willy. Sewaktu kelas 7, ia satu kelas
dengan aku dan Milly. Yah… entah apa yang mendorongku untuk menyukainya.
“Benar. Kau bisa tahu?” tanyaku.
Milly hanya tertawa kecil. “Tentu saja.”
Aku diam. Kemudian membalas pesannya, “Tapi kau janji jangan memberitahukannya
kepada siapapun.”
“Oke,” ucap Milly agak berat hati. Setelah itu, kami menyudahi percakapan kami.
Aku beralih mengirim pesan kepada Catherine.
“Hai, Cath.” sapaku terlebih dahulu.
“Hai, Amy. How are you?” tanya Catherine.
“Fine. Emm… how about masboy?” tanyaku kepada Catherine, menyebutkan julukan
orang yang disukainya.
“Masbro? Emm… tadi malam, aku duduk di sebelahnya.” jawab Catherine senang.
“Wah, aku juga ikut senang.” ucapku sambil tersenyum.
“Ya, bagaimana hubunganmu dengan… hemm… Ricky?” tanya Catherine balik. Aku
tertegun.
“Biasa saja, kau tahu.” jawabku sambil tertawa.
“Haha… bisa saja kau,” balas Catherine.
“Ehh, sudah dulu ya, pulsaku menipis,” ucapku.
“Oke, goodnight Amy.” ucap Catherine.
“Goodnight Cath.” balasku.
Aku pun memutuskan untuk tidur karena hari sudah terlalu malam.
Keesokan paginya, aku membuka internet. Aku
bermaksud untuk membuka Facebook. Aku log-in, kemudian melihat-lihat status di
beranda. Dan! Ada sebuah status yang begitu menyindirku…
~ Milly Warren
Kok aku jadi sedikit ENVY yah begitu dengar Amy di t**b*k oleh Wi**y? Apa
karena aku pernah menyukai Wi**y? Ah, entahlah O:)
“Apa-apaan ini!” aku membanting HPku seketika. Aku lupa jika aku sedang
berpuasa. Karena saking kesalnya, aku pun menaruh komen di status Milly.
“Terlalu jelas, Mill.” ucapku sedikit kesal.
Aku benar-benar tak percaya. Milly Warren, seseorang yang selama ini ku anggap
paling baik, paling ku percaya ternyata berkhianat. Katanya, ia tidak akan
membocorkannya kepada siapapun. Tapi ini… PENGHINAAN!
Aku mencoba mengirim pesan kepada Catherine. Isinya:
“Kau telah berbohong, Milly.”
“Kenapa?” tanya Catherine.
“Kau lihat status Milly, dia menghinaku!” seruku kesal.
“Sudah biasa, Am. Kalau kau punya rahasia, jangan pernah memberitahukannya
kepada Milly. Dia itu MULUT EMBER,” jelas Catherine yang sepertinya juga kesal.
Aku menyesal, sungguh menyesal telah memberitahukan rahasia itu kepada Milly.
Mulai saat ini aku berjanji, tidak ingin mengenal Milly lagi
Cerpen Karangan: Harum Dewi Alamsyah Putri
Facebook: Dewi Alamsyah
Karena ia selalu menyimpan cahaya..
(Cerpen) Sebuah
Dialog
Bimisllah…
Dalam
senja yang mulai gelap. Kupandangi hamparan birunya laut itu. Laut biru yang ketika
siang begitu manisnya menggambar bumi di ujung Timur Formosa. Sepertinya ia
lunglai dengan siang yang panas, merasa penat dengan kebisingan mentari bersama
sinarnya, ia butuh berteduh dalam damai, berdiam dalam perenungan di gulita
yang hanya ditemani bintang. Ia menuntut itu. Menuntut untuk segera ditemani
malam, biar ia tak lagi diganggu dengan penduduk-penduduk bumi yang mencari
kehangatan, kehangatan yang membuatnya jengah. Jengah karena ulah mereka.
‘Semakin
brengsek saja penghuni bumi.. “
gumamnya.
“Panasnya
air yang kumiliki semakin menjadi selama beberapa tahun terakhir. Padahal dulu,
saya masih menikmati kedamaian hangatnya mentari sembari sesekali badai datang
menerpa negeri ini. Buatku, ini karena ulah manusia. mereka dengan borosnya
memakai energi di perut tanah-tanah itu. Aku, hutan, dan semua inti bumi ini
sebenarnya marah dengan mereka. Tapi mereka begitu tak peduli” Lanjutnya..
Aku
tersenyum sendiri membayangkan betapa kesalnya seluruh makhluk Allah di muka
bumi. Mereka jengah sebenarnya. Jengah dengan para penghuni bumi yang mulai tak
mengindahkan perintah Tuhan. Satu persatu terus ditinggalkan. Benar, bahwa
nikmat-nikmat Allah itu terus turun di bumi para orang kafir, tapi itu tak
lebih dari istidraj-Nya Allah untuk mereka. Kadang-kadang dunia ini memang unik
dan sungguh memilki banyak tanda tanya. Tapi bagi yang berilmu. Sebenarnya ini
sederhana. Ini hanya tentang “patuh atau tidaknya kamu dengan perintah Allah
Yang maha Kuasa..” hanya itu pangkal persoalannya. Jika kembali kepada
jalan yang benar, jalan lurus nan bercahaya, sejatinya hidup akan menjadi
sederhana lagi bermakna.
Aku
mengutuk diri sendiri. Rasanya tak pantas kumulai menghitung salahnya orang
lain, sedangkan akupun masih banyak lalai dan masih banyak hal yang berlum
disempurnakan. Tak lama kemudian, kuarahkan pandanganku di sekeliling kereta.
Setiap manusia masih asyik dengan aktivitasnya masing-masing. Sebagian besar
dari mereka benar-benar acuh tak peduli. Beginikah hidup di negara yang maju ?
yang penduduknya pekerja keras dan tahan banting manantang dunia ? mereka
seperti lupa, bahwa sapaan dan dialog hangat bersama saudara seperjalanan
adalah kenikmatan paling indah di dunia. Kenikmatan yang bisa kurasa ketika
perjalanan Jakarta-Yogyakarta kulalui. Menikmati tertawanya para pengemis,
sedihnya wajah mereka, atau para penjual-penjual jajanan kecil yang sungguh
ribut tak terkira meski itu di malam hari. Bagiku, itulah eksotis-nya
Indonesiaku. Negeri permai yang semrawut namun merupakan syurga bagi mereka
yang mencintai keramahan dan hidup dalam komunitas.
Aku
berdialog lagi dengan diri sendiri. Sepertinya harus kuakui, bahwa berbicara
dengan hati adalah aktivitas paling kucintai. Aku menyukai keluasaan
cakrawalanya dalam mengambil keputusan, juga sangat menikmati berbagai macam
pemikiran dan teori yang suka ia tafsirkan dari berbagai sumber informasi yang
berasal dari otakku. Kali ini aku bergelut dengan dua kata. “Nekat” dan “Yakin”
“Kamu
yakin ? atau jangan-jangan ini hanya kenekatan yang tak beralasan, kenekatan
yang bodoh ?”
Tanyanya padaku. Aku tersenyum kemudian mencoba menjawab dengan sebijak dan
se-rasionalis mungkin.
“Bisa
jadi.. engkau bisa menamakan ini sebagai kenekatan, atau -mungkin- kebodohan.
namun entah kenapa, kenekatan-kenekatan itu teriringi dengan rasa Yakin. Rasa
yakin yang sulit untuk kuterjemahkan. Dan aku percaya kau dan juga aku suatu
saat akan memahaminya”
Jawabku.
“kenapa
begitu ? Selalu ada alasan untuk sebuah keyakinan. Begitu yang selalu kau
ajarkan kepadaku setiap kali ada masalah yang mulai datang dan kau tanyakan
padaku untuk segera memberi fatwa”
Tanyanya mulai sengit dan sedikit protes.
“Namun,
kali ini berbeda. Akupun tak bisa menjelaskannya kepadamu. Aku heran sendiri kenapa
kenekatan ini ditemani dengan keyakinan. Bisa saja karena aku percaya bahwa
akan ada hasil yang baik dari kenekatan ini, ada cahaya yang akan segera datang
menyinari jiwa hingga kelak ia lebih sempurna dalam menghamba. Alasan-alasan
yang belum terjadi itu kuprediksikan akan datang menghampiri, hingga akupun
menjadi semakin yakin dengan kenekatanku” kucoba kembali meyaknkannya
“Ahh..
jangan-jangan jawaban yang kamu berikan hanyalah ungkapan yang retoris.
Ungkapan kata-kata yang sengaja kau pilih untuk membenarkan kenekatan ini ?” Dia mulai sedikit protes.
Apakah jawabanku tidak meyakinkan ?
Hmm..
kupikir dalam-dalam bahasa apa yang bisa kupakai untuk menerjemahkan apa yang
sebenarnya ada di dalam pikirku.
“Sebenarnya,
ada kekuatan Maha Dahsyat yang membuat rasa yakin ini. Kekuatan yang takkan
kita temukan dimanapun selain dengan sujud penuh khusyu kepada-Nya. kekuatan
yang melahirkan keyakinan kokoh dari sajak-sajak do’a yang terkirim pada-Nya.
Kekuatan yang berasal dari Allah, Tuhan kita bersama. Ia memberikan keyakinan
yang saya sendiri-pun terheran-heran dengannya. benarkah ini ? nyatakah ini ?
pertanyaan-pertanyaan itupun sampai sekarang masih terus hadir di alam pikirku.
Namun rasa yakin justru terus bertambah tiap kali aku bertanya pada diri sendiri.
Aku hanya PERCAYA. PERCAYA bahwa Allah itu Hebat, MAHA HEBAT bahkan. DIA berhak
memberikan apapun kepada makhluk-Nya sesuai yang DIA kehendaki. Aku hanya
percaya dengan Janji-Nya. percaya dengan firman-nya yang memastikan selalu akan
menolongku jika aku berani mengambil langkah kenekatan ini. Percaya bahwa ia
akan meng-kaya-kan aku dan melimpahkan rezeki-ku jika aku berani menantang
“kebodohan” ini. Entah kenapa. Kepercayaan itu semakin menjadi-menjadi. Bahkan
kuat sekali. Kalau sudah begini, apa lagi jawaban lain yang ingin kusampaikan
kepadamu selain bahwa aku percaya dengan keyakinan ini ?”
Kulihat
ia diam sesaat. Sejenak termenung dan mencerna kata-kataku. Seperti biasa. Aku
menunggu fatwa-nya untuk segera mengabarkan kepada otak dan mulutku agar segera
bertindak. Bagiku, fatwanya sungguh berarti.
“Baiklah..
aku menangkap keyakinan yang sukar untuk kurobohkan. Keyakinan yang kalau
kulihat sebenarnya juga berasal dariku. Dari hatimu sendiri. Aku sering
menangis di sudut Masjid itu. Ketika kau menghabiskan harimu dengan shaum
sunnah di pagi hingga senja hari, kemudian do’a-do’a itu terlontar dalam
mihrab-Nya. kau begitu tenang lagi khusyu membuatku semakin tergugu karena
mengingat Allah dengan segala kebesaran-Nya. Kuakui, meski kadang aku protes
dengan kenekatan ini. Namun itu tak lebih agar bisa membuatmu lebih rasional
dan mempersiapkan segala sesuatu. Hanya saja. Aku khawatir, khawatir kalau aku
tak selalu baik setiap saat. Sebab para sahabat dan orang berilmu-pun selalu
lalai. Apalagi dengan kamu yang tak sekokoh mereka ? Aku takut jika kamu mulai terbuai
dengan nikmatnya dunia yang sudah sering bikin aku sakit dan ternoda. Aku takut
itu. Jika kamu terus seperti ini. Keyakinan itu akan tetap bertahan dan kuyakin
secara pasti akan memberi banyak arti bagi sebuah perubahan hidup yang lebih
pasti” kali
ini ia mulai membenarkanku.
“benar.. kau sungguh benar,
Kau lihat sendirikan, kayuhan sepedaku dalam getaran karena rindu yang
membuncah pada-Allah ? kau saksikan sendirikan bagaiman kamu mulai gerimis
menyaksikan cakrawala senja bersama kesyukuran yang kukirim bagi Tuhan kita.
Aku hanya ingin memilki cinta sepanjang masa untuk Allah, Tuhan kita. Aku ingin
memilikinya. memilikinya dalam genggamanmu hingga kau bisa menghasilkan
fatwa-fatwa bagiku dengan lurus dan benar. kamu juga tahu, sedari dulu do’a itu
tetap sama.. “Aku hanya ingin mencintai-Mu disepanjang waktu.. Maka kumohon
bantulah aku”. itu yang selalu kuungkapkan ketika kusadar bahwa diri ini
selalu akan kembali kepada-Nya. Diri ini punya banyak tanggung jawab yang terus
datang setiap saat. Aku hanya ingin itu. Ingin agar DIA adalah sejatinya zat
yang menjadi tujuanku. Sebab kamu dan aku telah benar-benar sadar bahwa di
dunia ini, hal yang paling indah adalah ketika bersama-Nya, meiliki-Nya.”
Ia
mulai tersenyum. Masih dalam raut yang sukar untuk kupahami. Mungkin juga ia
masih takut dan khawatir karena segala sesuatu bisa terjadi. Namun ia telah
memberi fatwa buatku. Fatwa untukku agar tak lagi takut dan berani untuk
mengambil segala resiko.
Kuakhiri
diaolog itu. Kukepalkan jari-jariku sembari meyakinkan diri. Bahwa ini adalah
sebuah langkah yang benar dan bukan perbuatan yang sia-sia. Aku tahu bahwa ini
adalah kumpulan cerita yang kutunggu sedari dulu, dan baru Allah perlihatkan
padaku saat ini.
…………………………………………………………………………
Kereta
malam itu terus melaju. Ia mulai meninggalkan timur Formosa bergerak menuju
Utara. Kulihat malam semakin gelap, sedang hatiku masih terus bertasbih
mengingat-Nya. Ada rasa rindu yang membuncah dan meletup-letup seperti yang
pernah kurasa ketika subuh Yogya kusambangi, atau ketika musim semi yang hangat
di penguhujung Mei.
“Allah..
Apa lagi yang tersisa jika percaya ini adalah percayaku pada-Mu. Sedang engkau
berkata.. ‘AKU sesuai prasangka hamba-Ku’… ” gumamku dalam hati..
Taipei,
12 Mei 2011
~
Yusuf Al Bahi ~
Cerpen: Dialog Seorang Demonstran Dan Ibunya
Jumat, 10 Agustus 2012 | 6:02 WIB 1 Komentar | 1042 Views
Betapa bangganya menginjakkan kaki di
Universitas pada tahun 1999. Itu adalah tahun musim semi aksi protes. Katanya,
tidak gaul kalau tidak demonstrasi. Ah, itu mungkin cuma klaim si tukang demo
saja.
24 September 1999. Aksi massa merebak di
seantero nusantara. Mahasiswa menentang pengesahaan RUU Penanggulangan Keadaan
Bahaya (PKB). Di Jakarta, seorang mahasiswa Universitas Indonesia, Yun Hap,
gugur di medan perjuangan.
Hari itu, ketika panas benar-benar membakar
kulit, Bram ikut aksi demonstrasi untuk pertama-kalinya. Ia begitu bangga
mengenakan jaket merah almamaternya. Dalam hatinya berseru-seru: We Are Red Jacket!
Pada buku catatannya Bram menulis:
“Hari itu kurasai apa jadinya seorang
mahasiswa. Kata seorang senior di kampus, tugas mahasiswa bukan hanya belajar,
tapi juga punya tanggung jawab moral: memperjuangkan rakyat. Katanya lagi,
kampus tak boleh menjadi menara gading. Dan mahasiswa tak boleh terpisah dari
rahim rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox
Populi, Vox Dei).
Rupanya, demonstrasi punya ceritanya sendiri.
Sayup-sayup kudengar selentingan: cinta bersemi di kala aksi. Uhh, di
tengah-tengah perjuangan begini, ada saja orang yang mencoba mencuri
keuntungan. Digunakannya motornya untuk menggaet cewek-cewek cantik. Dasar
pecundang!”
Bram bukanlah nama sebenarnya. Orang tuanya
memberi nama “Sabaraman”. Tetapi teman-teman sekolahnya memplesetkannya menjadi
“Sembarangan”. Gara-gara itu ia sederhanakan namanya menjadi “Bram”.
Bram anak seorang pengusaha mebel di
Sumatera. Jauh-jauh ia merantau ke Jakarta hanya untuk menuntut ilmu. Orang
tuanya berpesan: “Nak, kau harus jadi Hakim nanti. Kau perjuangkan keadilan
orang-orang di kampung ini. Jangan kau sia-siakan pesan orang tuamu itu, Nak.”
Sayang, di Jakarta, Bram tercebur dalam dunia
lain. Ia memilih menjadi aktivis. Baginya, kuliah hanya pembodohan. Dan menjadi
hakim tak lebih dari menciptakan penindas-penindas rakyat. Tiap hari Bram mulai
berkokok tentang “Revolusi”. Hampir semua bajunya bergambar pria ganteng
mengenakan baret sambil menghisap cerutu. Kalau tidak salah namanya Che
Guevara. Ia sekarang menjadi bagian dari organisasi bernama Komite Mahasiswa Revolusioner (KMR).
Dua tahun Bram tak pulang ke kampung
halamannya. Surat pun tak sekalipun melayang ke sana. Ayahnya murka.
Dianggapnya anaknya itu sudah durhaka. Hanya ibunya yang masih menaruh harapan
pada anak sulungnya itu. Didatanginya anaknya di Jakarta. Hampir sebulan wanita
mulia itu mondar-mandir untuk mencari tempat tinggal anak yang dilahirkan dari
rahimnya itu.
“Tidak kusangka, Nak,” kata Bundanya
“Apa yang tidak disangka, Bunda?”
“Kau sudah lupa dengan orang tua. Bahkan kau
lupa dengan Ibunda yang melahirkanmu. Apa gerangan yang membuatmu berubah,
Nak?”
“Saya tidak pernah lupa, Bunda. Hanya saja,
ada tanggung jawab besar di pundak saya. Itu lebih penting ketimbang hanya
memikirkan pribadi saja.
“Apa itu, Nak?”
“Membela Rakyat, bunda. Yah, membela rakyat
adalah tugas setiap intelektual revolusioner. Saya, Bunda, tak mau disebut
intelektual menara gading.”
Ibu Bram tak begitu mengerti apa yang dibahas
anaknya. Ia pun segera mengalihkan pembicaraan.
“Masih rajin Sholat kau, Nak?”
“Apa pentinya pertanyaan itu, Bunda.”
“Apakah kau masih Sholat, Nak?”
“Tidak, Bunda, saya terlampau sibuk di
kampus. Setiap hari ada diskusi dan aksi. Bagi saya, itu ibadah yang lebih
penting. Katanya, itu ibadah sosial.”
Ibu Badrun lagi-lagi kebingingungan dengan
jawaban anaknya. Dengan cepat ia berkata, “Jadi kau tak sholat lagi, Nak? Kau
sudah tidak pernah menghadap Tuhan lagi?”
“Bunda, saya anggap agama itu candu. Itu
hanya penenang bagi kaum miskin agar tak melawan. Ah, Bunda, apa guna orang
beribadah dan bertuhan, tetapi penindasan dan penghisapan terjadi dimana-mana.
Suara rakyat suara Tuhan, Bunda.”
Belum selesai Bram bicara, ibunya sudah
meraung-raung. Wanita mulia itu tak kuasa lagi membendung tangisannya. Anaknya
yang tercinta, Bram, sudah melukai hatinya dan meninggalkan amanatnya.
Bram tak kuasa melihat air mata ibunya. Ia
segera menjatuhkan diri ke lantai dan mencium kaki ibunya.
“Ampun, Ibunda, ampun, ampun….”
“Kau bukan cuma durhaka, nak, tapi sudah lupa
Tuhan. Ayah-ibumu yang akan menanggung kesalahanmu itu nantinya.”
Kata-kata ibunya terus menyambar bagai petir.
Bram tak kuasa melawan. Ia terus bersujud di kaki ibunya dan terus memohon
ampun.
“Ampun, bunda, saya khilaf. Saya akan ikuti
pesan ibunda. Tapi, maafkanlah anakmu yang semata-wayang ini.”
“Maukah kau bertobat, nak?”
“Insyah Allah, bunda.”
“Jangan hanya janji, nak. Kau harus pastikan
untuk bertobat dan kembali ke jalan tuhan.”
“Iya, bunda, pasti….nanti akan kulakukan.”
Tangis ibunda Bram mulai reda. Bram, sang
pemberontak muda itu, takluk juga di bawah telapak kaki ibunya.
***
Seminggu setelah ibunya pulang, Bram kembali
masuk kampus. Didapatinya situasi sedang bergolak. Mahasiswa tidak setuju
dengan kenaikan biaya SPP. Sudah begitu, pedagang kaki lima hendak disingkirkan
dari kampus.
Langkah kakinya terhenti di depan pintu
kelas. Hati nurani Bram merasa terpanggil. Kata-kata tokoh idolanya, Che
Guevara, seakan terus memanggilnya: Bila hatimu
bergetar marah melihat ketidakadilan, maka kau adalah kawanku!
Bram mendatangi sekretariat KMR. Rupanya,
ruangan berukuran 3 x 3 meter itu sudah penuh sesak dengan orang. Sebuah
diskusi untuk membahas persoalan sedang berlangsung. Ia pun segera menjadi
bagian dari gerakan perlawanan.
Esoknya, sesuai dengan kesepakatan rapat,
aksi protes digelar. Mimbar bebas digelar di depan gedung Rektorat. Ribuan
mahasiswa bergabung dalam aksi protes itu. berjam-jam aksi protes itu tak
mendapat respon. Akhirnya, mahasiswa pun berusaha merengsek masuk.
Sang Rektor sangat panik. Ia pun memilih
kabur lewat pintu belakang. Namun, begitu ia sudah naik di atas mobil, masalah
baru muncul: ban mobilnya kempes. Seseorang sudah sengaja mengempesinya.
Pelakunya: Bram.
Seketika Bram menjadi terkenal. Tapi, itu
juga pertanda datangnya malapetaka. Begitu aksi protes mereda, Rektor meminta
pengusutan pelaku pemecah ban mobilnya. Komisi Disiplin memanggil Bram. Bram,
yang memposisikan diri sebagai seorang revolusioner, menolak panggilan itu.
Bram melawan balik dengan pamflet.
Ditulisnya, rektor telah melakukan korupsi untuk memperkaya diri. Lihat saja,
mana mungkin seorang rektor bisa membeli mobil semewah itu. Belum lagi rumahnya
yang menyerupai gedung.
Persoalan melebar. Bram kembali dipanggil
Komdis. Tak satupun panggilan itu dipenuhinya. Akhirnya, sebulan kemudian
datanglah surat rektorat ke kamar kostnya. Isinya: SK drop-out (DO).
Tapi Bram tak patah arang. Baginya, gagal di
perkuliahan bukanlah hal yang perlu disesali. Ia percaya ilmu bisa didapat di
mana saja. Termasuk di luar gedung-gedung perkuliahan.
Terlempar dari kampus, Bram memilih jadi
aktivis serikat buruh. Ia benar-benar memilih jalan revolusioner. Tiap hari ia
keluar masuk pemukiman buruh. Pekerjaan itu ditekuninya selama bertahun-tahun.
***
Apa yang penting di tahun 2009? Oh, iya, ada
pemilu. Dan Bram menjadi salah seorang calon anggota legislatif. Bagaimana
ceritanya?
Cukup lama Bram menjadi aktivis serikat buruh.
Sayang, sebuah pertikaian internal membuatnya tertendang keluar. Tidak jelas
apa pangkal perdebatannya. Singkat cerita, pasca kejadian itu, Bram sempat
menjadi pedagang buku.
Hingga, pada suatu hari, ia bertemu dengan
seorang temannya. Dulu temannya itu aktivis juga semasa kuliah di kampus.
Temannya itulah yang mengajak Bram bergabung dengan sebuah partai nasionalis.
Semula ia ingin maju di Jakarta. Tetapi
partainya, yang percaya kekuatan primordialisme itu, menyuruhnya maju di
kampung halamannya. Maka pulanglah ia ke kampung halamannya.
Latar belakang sebagai aktivis akan sangat
membantu, pikirnya. Karena itu, kemana-mana ia mengenalkan diri sebagai caleg
aktivis. Ia bilang kepada orang-orang di kampungnya, kalau dirinya dipilih,
maka akan memperjuangkan program-program kerakyatan: pendidikan gratis,
kesehatan gratis, perumahan murah untuk rakyat, memperjuangkan kenaikan upah
100%, tanah untuk penggarap, dan lusinan program lainnya.
Bram yakin, suara Rakyat adalah suara Tuhan.
Ia beranggapan, rakyat akan lebih memilih caleg aktivis, yang sudah terbukti
berjuang di tengah rakyat, ketimbang caleg-caleg non-aktivis. Untuk menggali
suara, Bram menggunakan cara-cara semasa menjadi aktivis: menyebar selebaran,
mencetak pamflet, melakukan advokasi, dan berorasi keliling dari desa ke desa.
9 April 2009. Pemilu legislatif serentak
digelar. Orang berbondong-bondong ke TPS. Tak terkecuali Bram. Ia berikan
suaranya di kotak suara—dulu, ia selalu menyerukan golput sebagai perlawanan.
Usai pencoblosan, datanglah saat-saat yang dinanti: penghitungan suara.
Mendadak perasan Bram tergoncang. Sudah
berpuluh-puluh kertas suara terhitung, tapi belum juga ada suara untuknya. Dan
ketika sudah seratusan, tetap saja tidak ada bekas lubang tusukan di tanda
gambarnya. Ia mulai gelisah. Perkiraannya meleset 100%.
Dan diakhir perhitungan sudah jelas: di TPS
dekat rumahnya ia hanya mendapat 12 suara. Jika diakumulasikan dengan
keseluruhan dapilnya, ia hanya mendapat 200-an suara. Ia sangat terpukul.
Berhari-hari kata-kata tak bisa keluar dari mulutnya. Hingga suatu hari
ibundanya berusaha membuka mulutnya.
“Kenapa kau, nak? Apa kau kecewa dengan hasil
itu?
“Iya, bunda, saya sangat kecewa.
Tetangga-tetangga tak satupun memilih saya. Kerabat juga hanya sebagian.
Sementara orang-orang miskin itu, yang sudah lama kuperjuangkan, tak juga
memberi suara untukku. Tak kusangka, suara rakyat bisa dibeli uang. Yah, uang
para politisi busuk itu,” kata Bram menderu-deru bak mesin lokomotif.
“Tapi kau tak bisa menyalahkan mereka, nak.
Seruanmu tak sampai di kesadaran mereka. Bagi mereka, makan esok hari jauh
lebih mendesak ketimbang seruanmu yang belum jelas kapan terjadinya itu.”
“Jadi ibunda menyalahkan cita-citaku dan
caraku memperjuangkannya?”
“Tidak ada yang menyalahkan cita-cita dan
perjuanganmu nak” bantah ibunya dengan suara tenang. “Cita-citamu sudah tentu
benar. Caramu berjuang tentu sangat bermartabat. Kau tak merendahkan martabat
manusia dengan membeli suaranya.”
“Tapi, apa yang salah, bunda?”
“Kau tak membaca psikologi mereka. Kau tak
terlalu mempelajari bentuk pendekatan terbaik untuk menyampaikan cita-citamu ke
mereka. Kau terlalu percaya diri dengan caramu sendiri. Padahal, kau seperti
orang yang berseru-seru di padang pasir.”
Jawaban itu bagaikan pukulan palu yang
menimpuk kepala Bram. Ia terpekur tak mengeluarkan sepatah kata pun. Badannya
lemas seperti kehilangan tulang-belulang penyokongnya.
Ibunya membelai rambut anaknya yang sudah 35
tahun itu. Dan kemudian ia membisikkan, “perjuanganmu tidak sia-sia, Nak. Hanya
waktunya dan keadaannya saja yang belum tepat. Jangan kau patah semangat karena
kekalahan kecil itu.”
Awalnya, wanita mulia itu menentang anaknya
ketika memilih menjadi aktivis. Belakangan ia mengetahui, bahwa menjadi aktivis
adalah pekerjaan membela rakyat. Ia pun tak lagi mempersoalkan pilihan anaknya.
Pasca kekalahan itu, Bram menjadi pengusaha
mebel. Ia melanjutkan bisnis ayahnya. Tambahan modalnya didapat dari uang yang
ditabung puluhan tahun oleh ibunya. Bisnis mebel Bram berkembang dengan baik.
Di bagian depan rumahnya terdapat papan nama bertuliskan: CV. SUARA RAKYAT.
Pasar Minggu, 8 Agustus 2012