Selasa, 18 November 2014

Peradilan dalam Islam (makalah)



                                      
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
       Peradilan agama telah lahir dalam kehidupan hukum di Indonesia sejak masuknya.agama islam. Guna memenuhi kebutuhan masyarakat muslim akan penegakan keadilan, pemerintah mewujudkan dan menegaskan kedudukan peradilan agama sebagai salah satu badan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam Al-Qur’an,hadist rasul dan ijtihad para ahli hukum islam, terdapat aturan-aturan hukum materil sebagai pedoman hidup dan aturan dalam hubungan antar manusia (muamalah) serta hukum formal sebagai pedoman beracara di pengadilan.
         Dalam hukum islam, kegiatan peradilan merupakan kegiatan muamalah , yaitu kegiatan antara manusia dalam kehidupan bersama (manusia dengan manusia atau manusia dengan masyarakat). Melaksanakan amalan (kegiatan) peradilan hukumnya adalah fardhu kifayah, harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang dalam satu kelompok  masyarakat, namun kalau sudah ada satu atau beberapa orang yang mengerjakan (melaksanakan), kewajiban telah terpenuhi. Al-Mawardi di dalam buku Al-Ahkam as Shulthaniyah menegaskan kegiatan peradilan adalah  merupakan bagian pemerintah dalam rangka bernegara.
Tujuan
            Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana prinsip-prinsip dan sistem dalam peradilan islam. Dan untuk mengetahui apa saja unsur-unsur dan hikmah peradilan dalam islam. Dan untuk mengetahui fungsi lembaga peradilan agama.
Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian peradilan dan pengadilan ?
2.      Apa saja unsur-unsur peradilan dalam islam ?







                          BAB II
                   PEMBAHASAN

A.Pengertian Peradilan dan Pengadilan
Istilah Peradilan dan Pengadilan adalah memiliki makna dan pengertian yang berbeda, perbedaannya adalah :

1.      Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan rechspraak dalam bahasa Belanda yang meksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan.
2.      Pengadilan dalam istilah Inggris disebut court dan rechtbank dalam bahasa Belanda yang dimaksud adalah badan yang melakukan peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Kata Pengadilan dan Peradilan memiliki kata dasar yang sama yakni “adil” yang memiliki pengertian:
a.       Proses mengadili
b.      Upaya untuk mencari keadilan
c.       Penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan
d.      Berdasar hukum yang berlaku
Istilah peradilan itu senantiasa melekat dengan istilah pengadilan. Secara terminologi, kedua istilah itu berbeda, tetapi keduanya tidak mungkin dapat dipisahkan, bagaikan anak panah dengan busurnya, pedang dengan sarangnya, dan jadam dengan pahitnya. Karena pada dasarnya, pengadilan itu merupakan tempat diselenggarakannya peradilan. Dengan demikian, pengadilan itu dapat dibedakan dari peradilan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Peradilan merupakan piranti lunak yang abstrak, sedangkan pengadilan menjadi piranti keras yang konkret dan terlembaga.





B.Unsur-Unsur Peradilan Islam
Unsur-unsur peradilan Islam disebut juga dengan rukun qadha’. Secara bahasa, rukun yaitu bagian yang kuat, yang berfungsi menahan sesuatu. Secara istilah, rukun berarti bagian tertentu yang mesti dari sesuatu, karena terwujudnya sesuatu itu mesti dengan adanya bagian itu. Jadi, rukun qadha’ (unsur-unsur peradilan) yaitu apa yang menunjukkan eksistensi peradilan itu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Sebagian ahli fiqih menyebutkan bahwa peradilan Islam mempunyai lima rukun atau unsur, yaitu:
a)      Hakim (qadhi)
          Yakni orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan dan perselisihan, dikarenakan penguasa tidak bisa melaksanakan sendiri tugas-tugas peradilan. Sebagaimana yang dilakukan nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya. Beliau mengangkat qadli-qadli untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat yang jauh.
b)      Hukum (qodho’)
          Yaitu suatu keputusan produk qadli untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan persengketaan. Ada dua bentuk keputusan hakim:
          1.Qadla’ ilzam, yaitu menetapkan hak/macam hukuman kepada salah salah satu pihak dengan redaksi “aku putuskan atasmu demikian”, atau menetapkan suatu hak dengan tindakan, seperti pembagian secara paksa.
           2.Qadla’ tarki (penetapan berupa penolakan). Seperti ucapan qadli kepada penggugat: kamu tidak berhak menuntut dari tergugat, karena kamu tidak mampu membuktikan, dan atas sumpah tergugat.

c)      Al-mahkum bih (hak)
         Yaitu sesuatu yang diharuskan oleh qadli untuk dipenuhi atas suatu hak. Pada qadla’ ilzam, yang dimaksud adalah dengan memenuhi hak penggugat. Sedangkan pada qadla’ tarki, yang dimaksudkan adalah penolakan atas gugatannya itu. Atas dasar itulah, al-mahkum bih adalah hak itu sendiri. Hak itu adakalanya hak Allah semata, hak manusia semata, atau hak yang dipersekutukan antara Allah dan manusia tetapi salah satu lebih berat.
         Apabila hak yang dituntut itu merupakan hak manusia semata, atau menurut lazimnya merupakan hak manusia, maka penuntutnya adalah pemilik hak itu sendiri, atau orang yang diberi kuasa olehnya. Si penuntut itu disebut mudda’i (penggugat). Jika ternyata dia tidak menuntut atau membatalkan tuntutannya, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menuntut haknya. Apabila hak yang dituntut itu adalah hak Allah semata-mata atau menurut lazimnya hak itu merupakan hak Allah, maka tuntutan itu dilakukan oleh penuntut umum (jaksa). Menurut hanafiyyah, yang dimaksud hak Allah adalah hak masyarakat (publik).
d)     Al-mahkum ‘alaih
         Yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya. Mahkum ‘alaih yaitu orang yang dikenai putusan untuk diambil haknya, baik ia mudda’a alaih (tergugat) atau mudda’i (penggugat).
e)      Al-mahkum lahu
           Yaitu penggugat suatu hak, yang merupakan hak manusia semata-mata (hak perdata), atau hak yang lazimnya merupakan hak manusia semata-mata. Mahkum lah harus melakukan sendiri gugatan atas haknya atau dengan perantaraan orang yang diberi kuasa olehnya, dan ia harus datang sendiri ke persidangan atau wakilnya. Adapun bila hak itu merupakan hak Allah semata, maka mahkum lah-nya adalah syara’. Dalam hal ini, tuntutan bukan datang dari perorangan, tetapi sesuai syari’at Islam. Tuntutan itu dilakukan oleh lembaga penuntut umum.









C.Prinsip-Prinsip Peradilan
Negara-negara modern melaksanakan kepentingannya dengan menggunakan tiga kekuasaan, yaitu;
1)      Kekuasaan perundang-undangan/as-sulthoh at-tasyri’iyyah yang berwenang membuat undang-undang.
2)      Kekuasaan eksekutif/as-sulthoh at-tanfidziyyah yang bertugas melaksanakan undang-undang.
3)      Kekuasaan kehakiman/as-sulthoh al-qodlo’iyyah yang berwenang menerapkan undang-undang untuk menyelesaikan perselisihan dan menegakkan keadilan di antara manusia.
Kita lihat bahwa kekuasaan peradilan/kehakiman itu terpisah dari dua kekuasaan yang lain. Ini berarti bahwa kedua kekuasaan/lembaga lainnya tidak diperkenankan mengintervensi/ ikut campur dalam perkara-perkara atau urusan peradilan. Teori pemisahan kekuasaan ini memunculkan prinsip-prinsip penting dalam peradilan Islam yang jumlahnya ada delapan (8) yaitu:
a.       Istiqlal al-qodlo’(kemerdekaan kehakiman)
          Kekuasaan kehakiman itu merdeka/berdiri sebagai lembaga kekuasaan tersendiri. Tujuannya adalah untuk menjaga peradilan agar tidak terkena pengaruh atau dengan kata lain untuk menghindari adanya turut campur dua kekuasaan lain; legislatif dan eksekutif. Ini adalah hal yang bagus dan rasional dalam tatanan hukum. Prinsip ini sudah ada sejak masa Rasulullah SAW hidup.
b.      Al-Musawah amamal qodlo’ (kesamaan di hadapan hukum)
         Kebanyakan orang beranggapan bahwa prinsip kemerdekaan, persaudaraan, dan persamaan itu tidak dikenal sebelum meletusnya revolusi Prancis pada akhir abad ke-18 M. Padahal sebenarnya prinsip itu telah dikemukakan baik dalam al-qur’an, hadits, dan ucapan Khulafa’ur Rosyidin sejak abad ke-7 masehi. Dalam mengadili, Rasulullah SAW selalu bersikap sama di antara pihak yang berselisih. Begitu juga yang dilakukan oleh para khulafa’ur rosyidin.

Amirul mu’minin Umar ibn al-Khatthab r.a pernah memberikan nasehat kepada seorang qodli: “bersikaplah sama di antara manusia di hadapanmu dalam pernyataan dan keputusan. Sehingga orang yang mulia tidak berharap kemenangan perkara dalam keculasanmu, dan orang yang lemah tidak putus asa dari keadilanmu.”
c.       Majjaniyatul qodlo’ (peradilan gratis)
          Di negara-negara Islam, sejak dulu tidak pernah ada qodli yang boleh memungut biaya dari orang yang berperkara ke pengadilan. Hal ini untuk menunjukkan kedermawanan dan tidak adanya sikap tamak dalam diri sang Hakim/qodli. Pemerintahan Islamlah yang menggaji mereka (para qodli). Prinsip seperti ini tidak dikenal oleh negara-negara eropa kecuali setelah revolusi Prancis. Akan tetapi, dengan adanya prinsip ini bukan berarti orang yang berperkara tidak menyerahkan uang sama sekali ke pengadilan. Undang-undang positif mengharuskan penyerahan sedikit biaya untuk mengurus (administrasi) perkara yang diajukan.
d.      At-taqodli ‘ala darojatain aw al-isti’naf (upaya hukum naik banding).
          Berdasarkan prinsip ini, orang berperkara yang telah mendapatkan keputusan hukum atas suatu kasus di pengadilan tingkat pertama, boleh mengajukan kasus itu lagi ke pengadilan yang lebih tinggi alias naik banding untuk mendapatkan keputusan hukum lagi atas kasus tersebut. Pengadilan yang lebih tinggi ini mempunyai kemerdekaan atau kebebasan untuk menentukan, apakah keputusan pertama atas kasus itu (hasil pengadilan sebelumnya) dikukuhkan , diganti, atau dibatalkan. Prinsip ini telah dikenal luas dalam semua undang-undang positif. Prinsip ini mempunyai faedah yang penting. Ia mendorong qodli/hakim untuk berhati-hati dan mengerahkan usaha maksimal dalam menangani kasus yang diajukan kepadanya. Karena hakim tersebut tahu bahwa hukum yang ia putuskan akan mungkin ditampakkan/diperlihatkan lagi di kemudian hari (di pengadilan banding), jika ternyata ada kekeliruan dalam keputusannya itu. Sehingga hal ini mendorong sang hakim untuk ber-ijtihad dan melakukan penelitian secara mendalam agar hukum yang ia putuskan tidak diganti atau dianulir.

e.       Al-qodlo’ fil Islam yaqumu ‘ala nidhomi al-qodli al-fard (kehakiman Islam menerapkan aturan hakim tunggal).
            Dalam sistem peradilan Islam, yang memutuskan perkara di antara manusia adalah seorang qodli saja. Dalam kondisi ada kebutuhan, Fuqoha’ memperbolehkan sang hakim didampingi beberapa Ulama’ sebagai pendamping yang akan memberikan sumbangan pendapat pada hakim. Akan tetapi mereka (ulama’) tidak boleh ikut campur dalam memutuskan hukum atas kasus yang disidangkan. Pendapat mereka hanya sebagai pertimbangan seperlunya bagi hakim. Jadi yang memutuskan hukum tetap sang hakim/qodli itu sendiri.
f.       ‘Alaniyatu majlisil qodlo’ (sidang peradilan yang terbuka)
         Fuqoha’ bersepakat atas terbukanya pengadilan. Bahwa pengadilan dilaksanakan secara terbuka. Sebagaimana Rasulullah menyelenggarakan persidangan di masjid.
g.      Hushulul ijro’at fi muwajahatil khushum (mempertemukan pihak yang berselisih)
         Keputusan hukum tidak bisa dijatuhkan sebelum kedua belah pihak terkait dipertemukan (saling mengetahui dan didengarkan pendapatnya masing-masing). Mengenai pihak berperkara yang ghaib (tidak hadir dalam persidangan), ada kaedah-kaedah tersendiri yang mengaturnya, sehingga hak masing-masing pihak tetap terjaga.
h.      Sulthotul qodli fil fiqhi al-islamiy (kekuasaan kehakiman dalam fikih Islam)
          Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, walaupun sudah ada undang-undang positif yang diterapkan, fikih (hukum Islam) tetap menjadi pijakan dalam menetapkan, mengganti atau menganulir hukum.















D.Sistem Peradilan Dalam Islam
Lembaga peradilan adalah lembaga yang bertugas menyampaikn keputusan hukum yang bersifat mengikat. Dasar  dan dalil disyariatkannya lembaga peradilan ini adalah : (QS : Al-Maidah:49)

49.  Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.

“Jika dua orang menghadapmu meminta keputusan, janganlah engkau tergesa-gesa memutuskan perkara diantara mereka sebelum engkau mendengarkan perkataan pihak yang lain, sehingga engkau akan tahu bagaimana seharusnya engkau memutuskan perkara diantara mereka itu.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)













E.Hikmah Peradilan Dalam Islam
a. Terciptanya keadilan dalam masyarakat, karena masyarakat memperoleh hak-haknya.
b. Terciptanya perdamaian, karna masyarakat memperoleh kepastian hukumnya dan diantara masyarakat saling menghargai hak-hak orang lain. Tidak ada yang berbuat semena-mena karena semuanya tlah diatur oleh undang-undang.
c. Terciptanya kesejahteraan masyarakat.
d. Terwujudnya aparatur pemerintahan yang jujur,bersih dan berwibawa.


F.Fungsi Lembaga Peradilan Agama
Untuk   melaksanakan   tugas  -  tugas   pokok   tersebut  Pengadilan  Agama mempunyai fungsi sebagai berikut :
a.   Fungsi Mengadili (judicial power), yaitu memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama di wilayah hukum masing-masing ;
       (vide Pasal 49 Undang - Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang - Undang No. 3 Tahun 2006) ;
b.   Fungsi Pengawasan, yaitu mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera / Sekretaris, dan seluruh jajarannya (vide : Pasal 53 ayat (1) Undang - Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang - Undang No. 3 Tahun 2006) ;
       Serta terhadap pelaksanaan administrasi umum. (vide : Undang - Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
        Pengawasan tersebut dilakukan secara berkala oleh Hakim Pengawas Bidang ;
c.   Fungsi Pembinaan, yaitu memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada jajarannya, baik yang menyangkut tugas teknis yustisial, administrasi peradilan maupun administrasi umum. (vide : Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) ;
d.   Fungsi Administratif, yaitu memberikan pelayanan administrasi kepaniteraan bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi, perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya. Dan memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama (Bidang Kepegawaian, Bidang Keuangan dan Bidang Umum) ;
e.   Fungsi Nasehat, yaitu memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam pada instansi pemerintah di wilayah hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ;
f.    Fungsi lainnya, yaitu pelayanan terhadap penyuluhan hukum, riset dan penelitian serta llain sebagainya,  seperti  diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI. Nomor : KMA/004/SK/II/1991

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengadilan merupakan badan Peradilan dan bersifat konkrit. Bila diperkenankan, antara Pengadilan dan Peradilan dapat dianalogikan dengan gelas serta airnya. Pengadilan berkedudukan sebagai gelas yang merupakan wadahnya, sedangkan Peradilan berkedudukan sebagai airnya yang merupakan isi dari gelas tersebut. Jadi, kita dapat merasakan fungsi gelas tersebut bila telah diisi air, yaitu untuk minum. Begitu pun Pengadilan dan Peradilan, yang dapat kita rasakan fungsinya bila telah mengetahui kedudukan masing-masing. Dengan demikian, semoga tulisan ini mampu membantu pembaca dalam membedakan Pengadilan serta Peradilan dan, diharapkan tidak lagi keliru dalam menggunakan kata Pengadilan serta Peradilan.

Saran
Dengan kita melihat ke belakang ke sejarah mengenai peradilan agama, hendaknya peraturan perundang-undangan mengenai peradilan agama menjadi lebih baik, mengingat perjuangan masyarakat yang berusaha mempertahankan keberadaan peradilan agama.
Selanjutnya dengan adanya peraturan perundang-undangan yang lebih baik, maka para penegak hukum, hendaknya bertindak secara maksimal sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, untuk menghindari adanya penyelewengan hukum.
Dan juga, kami mengharapkan kepada rekan-rekan seperjuangan untuk kita bersama – sama mempelajari tentang Peradilan Islam , agar kita bisa memahami dan bisa mempelajari tentang Peradilan Peradilan Islam Di Indonesia ini.





                      DAFTAR PUSTAKA

Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, Bandung : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati, 2011.

http://kuliahhukumindonesia.blogspot.com/2009/01/pengertian-peradilan-dan-pengadilan.html

http://peradilandiindonesia.blogspot.com/2012/03/prinsip-dan-unsur-peradilan-islam.html

http://blog.uin-malang.ac.id/mujahidah1453/2011/02/10/keistimewaan-sistem-peradilan-islam/
Qosim,M.Rizal,2013,Pengamalan Fiqih.Solo;PT.Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

1 komentar:

  1. nice post gan lengkap banget info tentang peradilan islamnya gan

    BalasHapus

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net