BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Peradilan agama telah lahir dalam kehidupan hukum di Indonesia sejak
masuknya.agama islam. Guna memenuhi kebutuhan masyarakat muslim akan penegakan
keadilan, pemerintah mewujudkan dan menegaskan kedudukan peradilan agama
sebagai salah satu badan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam
Al-Qur’an,hadist rasul dan ijtihad para ahli hukum islam, terdapat
aturan-aturan hukum materil sebagai pedoman hidup dan aturan dalam hubungan
antar manusia (muamalah) serta hukum formal sebagai pedoman beracara di pengadilan.
Dalam hukum islam, kegiatan peradilan merupakan kegiatan muamalah ,
yaitu kegiatan antara manusia dalam kehidupan bersama (manusia dengan manusia
atau manusia dengan masyarakat). Melaksanakan amalan (kegiatan) peradilan
hukumnya adalah fardhu kifayah, harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang dalam
satu kelompok masyarakat, namun kalau
sudah ada satu atau beberapa orang yang mengerjakan (melaksanakan), kewajiban
telah terpenuhi. Al-Mawardi di dalam buku Al-Ahkam as Shulthaniyah menegaskan
kegiatan peradilan adalah merupakan
bagian pemerintah dalam rangka bernegara.
Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk
mengetahui bagaimana prinsip-prinsip dan sistem dalam peradilan islam. Dan untuk
mengetahui apa saja unsur-unsur dan hikmah peradilan dalam islam. Dan untuk
mengetahui fungsi lembaga peradilan agama.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian peradilan dan pengadilan ?
2. Apa saja
unsur-unsur peradilan dalam islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Peradilan dan Pengadilan
Istilah Peradilan dan Pengadilan adalah memiliki
makna dan pengertian yang berbeda, perbedaannya adalah :
1.
Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan rechspraak dalam bahasa
Belanda yang meksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas
Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan.
2.
Pengadilan dalam istilah Inggris disebut court dan rechtbank dalam bahasa
Belanda yang dimaksud adalah badan yang melakukan peradilan berupa memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara.
Kata
Pengadilan dan Peradilan memiliki kata dasar yang sama yakni “adil” yang
memiliki pengertian:
a.
Proses mengadili
b.
Upaya untuk mencari keadilan
c.
Penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan
d.
Berdasar hukum yang berlaku
Istilah
peradilan itu senantiasa melekat dengan istilah pengadilan. Secara terminologi,
kedua istilah itu berbeda, tetapi keduanya tidak mungkin dapat dipisahkan,
bagaikan anak panah dengan busurnya, pedang dengan sarangnya, dan jadam dengan
pahitnya. Karena pada dasarnya, pengadilan itu merupakan tempat
diselenggarakannya peradilan. Dengan demikian, pengadilan itu dapat dibedakan
dari peradilan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Peradilan merupakan piranti
lunak yang abstrak, sedangkan pengadilan menjadi piranti keras yang konkret dan
terlembaga.
B.Unsur-Unsur
Peradilan Islam
Unsur-unsur
peradilan Islam disebut juga dengan rukun qadha’. Secara bahasa, rukun
yaitu bagian yang kuat, yang berfungsi menahan sesuatu. Secara istilah, rukun
berarti bagian tertentu yang mesti dari sesuatu, karena terwujudnya sesuatu itu
mesti dengan adanya bagian itu. Jadi, rukun qadha’ (unsur-unsur peradilan)
yaitu apa yang menunjukkan eksistensi peradilan itu, baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Sebagian ahli fiqih menyebutkan bahwa peradilan Islam
mempunyai lima rukun atau unsur, yaitu:
a)
Hakim (qadhi)
Yakni orang yang diangkat oleh kepala
negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan dan perselisihan,
dikarenakan penguasa tidak bisa melaksanakan sendiri tugas-tugas peradilan.
Sebagaimana yang dilakukan nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya. Beliau
mengangkat qadli-qadli untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia
di tempat yang jauh.
b)
Hukum (qodho’)
Yaitu suatu keputusan produk qadli
untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan persengketaan. Ada dua bentuk
keputusan hakim:
1.Qadla’ ilzam, yaitu menetapkan
hak/macam hukuman kepada salah salah satu pihak dengan redaksi “aku putuskan
atasmu demikian”, atau menetapkan suatu hak dengan tindakan, seperti pembagian
secara paksa.
2.Qadla’ tarki (penetapan berupa
penolakan). Seperti ucapan qadli kepada penggugat: kamu tidak berhak menuntut
dari tergugat, karena kamu tidak mampu membuktikan, dan atas sumpah tergugat.
c)
Al-mahkum bih (hak)
Yaitu sesuatu yang diharuskan oleh
qadli untuk dipenuhi atas suatu hak. Pada qadla’ ilzam, yang dimaksud adalah
dengan memenuhi hak penggugat. Sedangkan pada qadla’ tarki, yang dimaksudkan
adalah penolakan atas gugatannya itu. Atas dasar itulah, al-mahkum bih adalah
hak itu sendiri. Hak itu adakalanya hak Allah semata, hak manusia semata, atau
hak yang dipersekutukan antara Allah dan manusia tetapi salah satu lebih berat.
Apabila hak yang dituntut itu
merupakan hak manusia semata, atau menurut lazimnya merupakan hak manusia, maka
penuntutnya adalah pemilik hak itu sendiri, atau orang yang diberi kuasa
olehnya. Si penuntut itu disebut mudda’i (penggugat). Jika ternyata dia tidak
menuntut atau membatalkan tuntutannya, maka ia tidak boleh dipaksa untuk
menuntut haknya. Apabila hak yang dituntut itu adalah hak Allah semata-mata
atau menurut lazimnya hak itu merupakan hak Allah, maka tuntutan itu dilakukan
oleh penuntut umum (jaksa). Menurut hanafiyyah, yang dimaksud hak Allah adalah
hak masyarakat (publik).
d)
Al-mahkum ‘alaih
Yaitu orang yang dijatuhi putusan
atasnya. Mahkum ‘alaih yaitu orang yang dikenai putusan untuk diambil haknya,
baik ia mudda’a alaih (tergugat) atau mudda’i (penggugat).
e)
Al-mahkum lahu
Yaitu penggugat suatu hak, yang
merupakan hak manusia semata-mata (hak perdata), atau hak yang lazimnya
merupakan hak manusia semata-mata. Mahkum lah harus melakukan sendiri gugatan
atas haknya atau dengan perantaraan orang yang diberi kuasa olehnya, dan ia
harus datang sendiri ke persidangan atau wakilnya. Adapun bila hak itu merupakan
hak Allah semata, maka mahkum lah-nya adalah syara’. Dalam hal ini, tuntutan
bukan datang dari perorangan, tetapi sesuai syari’at Islam. Tuntutan itu
dilakukan oleh lembaga penuntut umum.
C.Prinsip-Prinsip
Peradilan
Negara-negara
modern melaksanakan kepentingannya dengan menggunakan tiga kekuasaan, yaitu;
1)
Kekuasaan perundang-undangan/as-sulthoh at-tasyri’iyyah yang berwenang membuat
undang-undang.
2)
Kekuasaan eksekutif/as-sulthoh at-tanfidziyyah yang bertugas melaksanakan
undang-undang.
3)
Kekuasaan kehakiman/as-sulthoh al-qodlo’iyyah yang berwenang menerapkan
undang-undang untuk menyelesaikan perselisihan dan menegakkan keadilan di
antara manusia.
Kita
lihat bahwa kekuasaan peradilan/kehakiman itu terpisah dari dua kekuasaan yang
lain. Ini berarti bahwa kedua kekuasaan/lembaga lainnya tidak diperkenankan
mengintervensi/ ikut campur dalam perkara-perkara atau urusan peradilan. Teori
pemisahan kekuasaan ini memunculkan prinsip-prinsip penting dalam peradilan
Islam yang jumlahnya ada delapan (8) yaitu:
a.
Istiqlal al-qodlo’(kemerdekaan kehakiman)
Kekuasaan kehakiman itu
merdeka/berdiri sebagai lembaga kekuasaan tersendiri. Tujuannya adalah untuk
menjaga peradilan agar tidak terkena pengaruh atau dengan kata lain untuk
menghindari adanya turut campur dua kekuasaan lain; legislatif dan eksekutif. Ini
adalah hal yang bagus dan rasional dalam tatanan hukum. Prinsip ini sudah ada
sejak masa Rasulullah SAW hidup.
b.
Al-Musawah amamal qodlo’ (kesamaan di hadapan hukum)
Kebanyakan orang beranggapan bahwa
prinsip kemerdekaan, persaudaraan, dan persamaan itu tidak dikenal sebelum
meletusnya revolusi Prancis pada akhir abad ke-18 M. Padahal sebenarnya prinsip
itu telah dikemukakan baik dalam al-qur’an, hadits, dan ucapan Khulafa’ur
Rosyidin sejak abad ke-7 masehi. Dalam mengadili, Rasulullah SAW selalu
bersikap sama di antara pihak yang berselisih. Begitu juga yang dilakukan oleh
para khulafa’ur rosyidin.
Amirul
mu’minin Umar ibn al-Khatthab r.a pernah memberikan nasehat kepada seorang
qodli: “bersikaplah sama di antara manusia di hadapanmu dalam pernyataan dan
keputusan. Sehingga orang yang mulia tidak berharap kemenangan perkara dalam
keculasanmu, dan orang yang lemah tidak putus asa dari keadilanmu.”
c.
Majjaniyatul qodlo’ (peradilan gratis)
Di negara-negara Islam, sejak dulu tidak
pernah ada qodli yang boleh memungut biaya dari orang yang berperkara ke
pengadilan. Hal ini untuk menunjukkan kedermawanan dan tidak adanya sikap tamak
dalam diri sang Hakim/qodli. Pemerintahan Islamlah yang menggaji mereka (para
qodli). Prinsip seperti ini tidak dikenal oleh negara-negara eropa kecuali
setelah revolusi Prancis. Akan tetapi, dengan adanya prinsip ini bukan berarti
orang yang berperkara tidak menyerahkan uang sama sekali ke pengadilan.
Undang-undang positif mengharuskan penyerahan sedikit biaya untuk mengurus
(administrasi) perkara yang diajukan.
d.
At-taqodli ‘ala darojatain aw al-isti’naf (upaya hukum naik banding).
Berdasarkan prinsip ini, orang
berperkara yang telah mendapatkan keputusan hukum atas suatu kasus di pengadilan
tingkat pertama, boleh mengajukan kasus itu lagi ke pengadilan yang lebih
tinggi alias naik banding untuk mendapatkan keputusan hukum lagi atas kasus
tersebut. Pengadilan yang lebih tinggi ini mempunyai kemerdekaan atau kebebasan
untuk menentukan, apakah keputusan pertama atas kasus itu (hasil pengadilan
sebelumnya) dikukuhkan , diganti, atau dibatalkan. Prinsip ini telah dikenal
luas dalam semua undang-undang positif. Prinsip ini mempunyai faedah yang
penting. Ia mendorong qodli/hakim untuk berhati-hati dan mengerahkan usaha
maksimal dalam menangani kasus yang diajukan kepadanya. Karena hakim tersebut
tahu bahwa hukum yang ia putuskan akan mungkin ditampakkan/diperlihatkan lagi
di kemudian hari (di pengadilan banding), jika ternyata ada kekeliruan dalam
keputusannya itu. Sehingga hal ini mendorong sang hakim untuk ber-ijtihad dan
melakukan penelitian secara mendalam agar hukum yang ia putuskan tidak diganti
atau dianulir.
e.
Al-qodlo’ fil Islam yaqumu ‘ala nidhomi al-qodli al-fard (kehakiman Islam
menerapkan aturan hakim tunggal).
Dalam sistem peradilan Islam, yang
memutuskan perkara di antara manusia adalah seorang qodli saja. Dalam kondisi
ada kebutuhan, Fuqoha’ memperbolehkan sang hakim didampingi beberapa Ulama’
sebagai pendamping yang akan memberikan sumbangan pendapat pada hakim. Akan
tetapi mereka (ulama’) tidak boleh ikut campur dalam memutuskan hukum atas
kasus yang disidangkan. Pendapat mereka hanya sebagai pertimbangan seperlunya
bagi hakim. Jadi yang memutuskan hukum tetap sang hakim/qodli itu sendiri.
f.
‘Alaniyatu majlisil qodlo’ (sidang peradilan yang terbuka)
Fuqoha’ bersepakat atas terbukanya
pengadilan. Bahwa pengadilan dilaksanakan secara terbuka. Sebagaimana
Rasulullah menyelenggarakan persidangan di masjid.
g.
Hushulul ijro’at fi muwajahatil khushum (mempertemukan pihak yang berselisih)
Keputusan hukum tidak bisa dijatuhkan
sebelum kedua belah pihak terkait dipertemukan (saling mengetahui dan
didengarkan pendapatnya masing-masing). Mengenai pihak berperkara yang ghaib
(tidak hadir dalam persidangan), ada kaedah-kaedah tersendiri yang mengaturnya,
sehingga hak masing-masing pihak tetap terjaga.
h.
Sulthotul qodli fil fiqhi al-islamiy (kekuasaan kehakiman dalam fikih Islam)
Dalam pelaksanaan kekuasaan
kehakiman, walaupun sudah ada undang-undang positif yang diterapkan, fikih
(hukum Islam) tetap menjadi pijakan dalam menetapkan, mengganti atau menganulir
hukum.
D.Sistem
Peradilan Dalam Islam
Lembaga
peradilan adalah lembaga yang bertugas menyampaikn keputusan hukum yang
bersifat mengikat. Dasar dan dalil disyariatkannya lembaga peradilan ini
adalah : (QS : Al-Maidah:49)
49.
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling
(dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya
Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian
dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik.
“Jika
dua orang menghadapmu meminta keputusan, janganlah engkau tergesa-gesa
memutuskan perkara diantara mereka sebelum engkau mendengarkan perkataan pihak
yang lain, sehingga engkau akan tahu bagaimana seharusnya engkau memutuskan
perkara diantara mereka itu.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
E.Hikmah
Peradilan Dalam Islam
a.
Terciptanya keadilan dalam masyarakat, karena masyarakat memperoleh hak-haknya.
b.
Terciptanya perdamaian, karna masyarakat memperoleh kepastian hukumnya dan
diantara masyarakat saling menghargai hak-hak orang lain. Tidak ada yang berbuat
semena-mena karena semuanya tlah diatur oleh undang-undang.
c.
Terciptanya kesejahteraan masyarakat.
d.
Terwujudnya aparatur pemerintahan yang jujur,bersih dan berwibawa.
F.Fungsi
Lembaga Peradilan Agama
Untuk
melaksanakan tugas - tugas pokok
tersebut Pengadilan Agama mempunyai fungsi sebagai berikut :
a.
Fungsi Mengadili (judicial power), yaitu memeriksa dan mengadili
perkara-perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama di wilayah hukum
masing-masing ;
(vide Pasal 49 Undang - Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang - Undang No. 3 Tahun
2006) ;
b. Fungsi
Pengawasan, yaitu mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku
Hakim, Panitera / Sekretaris, dan seluruh jajarannya (vide : Pasal 53 ayat (1)
Undang - Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang - Undang No. 3 Tahun 2006) ;
Serta terhadap pelaksanaan administrasi umum. (vide : Undang -
Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Pengawasan tersebut dilakukan secara berkala oleh Hakim Pengawas Bidang ;
c.
Fungsi Pembinaan, yaitu memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk kepada
jajarannya, baik yang menyangkut tugas teknis yustisial, administrasi peradilan
maupun administrasi umum. (vide : Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) ;
d.
Fungsi Administratif, yaitu memberikan pelayanan administrasi kepaniteraan bagi
perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi, perkara banding, kasasi
dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya. Dan memberikan
pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama
(Bidang Kepegawaian, Bidang Keuangan dan Bidang Umum) ;
e.
Fungsi Nasehat, yaitu memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang
hukum Islam pada instansi pemerintah di wilayah hukumnya, apabila diminta
sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama ;
f.
Fungsi lainnya, yaitu pelayanan terhadap penyuluhan hukum, riset dan penelitian
serta llain sebagainya, seperti diatur dalam Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI. Nomor : KMA/004/SK/II/1991
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengadilan merupakan badan Peradilan dan bersifat
konkrit. Bila diperkenankan, antara Pengadilan dan Peradilan dapat dianalogikan
dengan gelas serta airnya. Pengadilan berkedudukan sebagai gelas yang merupakan
wadahnya, sedangkan Peradilan berkedudukan sebagai airnya yang merupakan isi
dari gelas tersebut. Jadi, kita dapat merasakan fungsi gelas tersebut bila
telah diisi air, yaitu untuk minum. Begitu pun Pengadilan dan Peradilan, yang
dapat kita rasakan fungsinya bila telah mengetahui kedudukan masing-masing.
Dengan demikian, semoga tulisan ini mampu membantu pembaca dalam membedakan
Pengadilan serta Peradilan dan, diharapkan tidak lagi keliru dalam menggunakan
kata Pengadilan serta Peradilan.
Saran
Dengan
kita melihat ke belakang ke sejarah mengenai peradilan agama, hendaknya
peraturan perundang-undangan mengenai peradilan agama menjadi lebih baik,
mengingat perjuangan masyarakat yang berusaha mempertahankan keberadaan
peradilan agama.
Selanjutnya
dengan adanya peraturan perundang-undangan yang lebih baik, maka para penegak
hukum, hendaknya bertindak secara maksimal sesuai dengan peraturan-peraturan
yang berlaku, untuk menghindari adanya penyelewengan hukum.
Dan juga, kami
mengharapkan kepada rekan-rekan seperjuangan untuk kita bersama – sama
mempelajari tentang Peradilan Islam , agar kita bisa memahami dan bisa
mempelajari tentang Peradilan Peradilan Islam Di Indonesia ini.
DAFTAR PUSTAKA
Oyo Sunaryo
Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam,
Bandung : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati, 2011.
http://kuliahhukumindonesia.blogspot.com/2009/01/pengertian-peradilan-dan-pengadilan.html
http://peradilandiindonesia.blogspot.com/2012/03/prinsip-dan-unsur-peradilan-islam.html
http://blog.uin-malang.ac.id/mujahidah1453/2011/02/10/keistimewaan-sistem-peradilan-islam/
Qosim,M.Rizal,2013,Pengamalan
Fiqih.Solo;PT.Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
nice post gan lengkap banget info tentang peradilan islamnya gan
BalasHapus