Senin, 04 Mei 2015

Kumpulan cerpen berdialog

KUMPULAN CERPEN-DIALOG




”ITU MENGGANGUKU,APA KAMU SUDAH SIAP”

“Ara…” sapa Dana, “hm.. ada waktu sebentar ga? Aku mau ngobrol bisa ga?”
“Eh, iya, Dan.. Kenapa ya?”
“Ehmmm… Kalo misal kita ketemuan gitu gimana? Ga enak ngomongnya kalo lewat telpon gini” Dana mengajak Ara ketemuan.
Hening.
Ara bingung, dia menduga duga apa yang sekiranya akan Dana bahas.
Ara mulai menebak, masalah dakwah minggu depan kah, masalah kunjungan panti asuhan atau masalah sanitasi air di mushola yang agak terganggu.
Kembali Ara berpikir, ‘ah pasti tetang kunjungan panti asuhan’.
“Oh, iya, bisa, nanti aja sekalian di forum” jawab Ara atas ajakan Dana.
Memang, nanti ba’da ashar akan ada forum pembahasan tentang kunjungan panti itu.
Kunjungan yang akan diadakan 2 minggu lagi.
“M-misal…” Dana tertahan untuk melanjutkan kata katanya, “misal kita ngobrolnya setelah forum gimana?”
“Setelah forum? Lho, mau ngobrol apa sih? Kalo emang ada kendala di divisi kamu, mending diobrolinnya di forum aja” Ara belum tau apa yang sebenarnya akan Dana utarakan, ia masih berpikir obrolan itu membahas kunjungan sosial.
“Eh, ya udah deh, lihat nanti aja.. sampe ketemu di sekre ya, Ara.. Hm.. Ara janga lupa makan ya sebelum ke sekre, kan nanti kita butuh tenaga buat berpikir..” mulai perhatian yang menjurus nampaknya.
“Iya, makasih ya… lhoo.. ehh… kok udah dimatiin, salamnya mana ya???” terheran si Ara ini.
Setelah diskusi dalam forum usai, Dana menghampiri Ara yang sedang berjalan keluar dari Gedung Student Center.. [lho.. kok tiba tiba udah selesai acaranya?? Banyak banget yang di-skip?? Suka suka gue lah, pan gue yang buat ceritanya..]
“Ara..” panggil Dana.
“Iya” jawab Ara.
Dana menghampiri Ara yang sedang duduk duduk di teras Student Center, hanya 3 meter dari temapt Dana berdiri.
“Eh, gimana, mau ngobrol apa?” Tanya Ara.
“Hm….” Terbata Dana dalam mengutarakannya “G-gini Ara, aku mau ngomomng sesuatu yang… yang gimana ya.. yah, sesuatu yang penting bagi aku, tapi mungkin kurang berkenan di hati Ara”.
“Ya udah deh, Ara.. Aku jalan dulu ya, nanti aku kabarin deh susunan acaranya” kawan ara yang tadi duduk di samping Ara memilih untuk pergi ketika tau gelagat Dana yang ingin ngobrol ‘in private’ dengan Ara. Memang jelas terpancar di muka Dana kalau dia ingin mengutarakan sesuatu 4 mata, seolah matanya berkata ‘minggir lo… gue mau bicara serius ama Ara’.
“Lha, kok gitu… Dibahas di sini aja deh, Shab..” cegah Ara saat Shabrina meninggalkannya.
Ya, nama kawannya itu Shabrina.
Dana mengambil langkah, ia duduk di bangku yang di tinggalkan oleh Shabrina.
Spontan, Ara menggeser bangku itu sekitar 30 centimeter ke kanan.
“Gini, Ara…” mulut tiba tiba kering, jantung berdebar, tangan berkeringat dan guntur mulai menggelegar [yang terakhir itu Cuma bercanda] ketika Dana membuka mulut.
“Aku mau bilang sesuatu, sebenarnya ini sudah lama aku mau sampaikan, tapi aku masih ragu ragu.”
“Tentang apa nih? Tentang lokasi panti yang mau kita kunjungi ya? Iya sih, aku rasa panti itu udah cukup mumpuni, mereka aja punya mobil panti, kalo menurut aku sih mendingan kita pilih panti yang benar benar membutuhkannya.” Begitulah Ara, masih berpikir kalo ini akan membahas kunjungan social.
Tersirat rona kecewa di wajah Dana.
“Bukan, bukan itu, Ra, yang mau aku omongin”
“Lantas?” Tanya Ara mulai penasaran.
“Aku di sini mau ngungkapin sesuatu..” ujar Dana, lirih…
“Sesuatu?”
“Iya, Ra.. Sesuatu dari hati”
“Eh, dari hati? Maksudnya apa, Na?
“Maaf sebelumnya” sembari mengeser posisi duduknya untuk lebih condong kea rah kanan, menghadap lawan bicaranya. Ya, kea rah Ara,dan nampak Ara mulai terganggu dengan kondisi ini, tapi dia lebih memilih diam dan mendengarkan apa yang akan Dana utarakan.
“Aku…”
“Aku menaruh hatiku ke kamu, Ra” akhirnya terucap juga kata kata yang telah Dana pendam sekian lama.
“Sudah lama aku menaruh hati ke kamu”
Tersentak, merasa dilecehkan, itu yang Ara rasakan.
Bukan kegembiraan, bukan bunga bunga yang ia lihat saat ini, tapi nyala api nun jauh di sana yang semakin mendekat.
“Aku tau ini salah, tapi musti bagaimana lagi, aku ga bisa terus terusan menahan rasa ini”
Terdiam kini keduanya.
“Aku ga bermaksud meminta kamu jadi pasanganku, aku hanya mengutarakan…”
Makin hening keduanya.
Dari api yang membara di ujung sana, kini telah berubah menjadi bunga sakura yang bertebaran..
Indah, harum dan menenangkan.
Itu yang Ara rasakan.
Bukan karena apa yang diucapkan Dana, tapi karena ada Abang Jual Batagor yang lewat.
“Dana, aku belum makan, aku mau beli batagor dulu. Sebentar ya..” kata Ara.
“Bang, batagornya seporsi dibungkus ya.. Sambelnya banyakin, ga pake kecap ya bang..”
“Iya, neng..” kata Abang itu menerima pesanan Ara.
Ara kembali ke tempat duduknya, sebelum duduk, ia kembali mengeser bangku itu kea rah kanan, menjauh dari Dana.
Bagaimana dengan Dana? Dia masih membatu, bukan karena durhaka pada ibunya, tapi karena dia tidak menyangka telah mengutarakan perasaannya.
“Dana…” kata Ara datar.
“Ya, aku merasa tersinggung dengan apa yang sudah kamu sampaikan” kata Ara tanpa memandang Dana, ia mengamati si Abang yang sedang meracik batagor. [bukan berarti Ara suka sama Abang Batagor itu lho ya]
“Aku tau itu pernyataan bukan pertanyaan, tapi itu akan menganggu ku Dana, aku harap kamu ga mengingat apa yang kamu ucapkan tadi karena aku juga ga akan mengingat kejadian ini.”
“Oh, iya…” lanjut Ara “Jangan biarkan rasa itu ada, pangkaslah, pangkas sekarang juga. Ingat saja keburukanku supaya kamu bisa menghilangkan rasa itu”
“Lho, kenapa harus ku hilangkan rasa itu?” Tanya Dana…
“Emangnya ada yang salah sama rasa itu? Bukannya itu fitrah ya?”
“Rasa itu memang fitrah, tapi apa kamu sudah berpikir dengan matang dengan mengutarakan rasa itu? Apa kamu udah memikirkan dampaknya bagi kamu dan orang yang bersangkutan?” masih memandang Abang Batagor Ara bicara.
“Jelas, Ara.. Aku sudah memikirkannya sejak lama” jawab Dana.
“Apa kamu sudah yakin pada rasa itu? Apa kamu yakin itu bukan nafsu?” tanya Ara.
“Rasa ini tulus, dari hati” Dana berusaha meyakinkan orang di depannya, Ara.
“Oh, ya sudah.. Terima kasih ya..” kata Ara, singkat dan ambigu.
“Sudah? Terus jawaban Ara?” Dana tercengan oleh respon Ara.
“Jawaban? Jawaban apa?”
“Jawaban dari apa yang sudah aku katakana..”
“Bukannya itu hanya pernyataan?”
“Tapi…” belum selesai kata katanya, Ara sudah menyela.
“Dana, tadi kamu bilang itu hanya pernyataan, jadi memang ga ada jawaban” jawab Ara.
“Nah, terbukti kan, kamu ada ambisi untuk meminta jawaban. Itu sungguh mengganggu” lanjutnya.
“Tapi, paling enggak kamu bilang apa yang kamu rasakan ke aku, mudah kan…” kejar Dana.
“Mudah? Dana, perasaan ini tidak semudah yang kamu lihat di tv. Tidak semudah orang jatuh cinta pada pandangan pertama. Tidak sesimpel itu. Ini rumit” jelas Ara.
“Apa kamu sudah memikirkan betapa seriusnya ucapan itu? Itu sama halnya kamu berkata ‘Ara, aku mau mengkhitbah mu’, begitu. Kalo memang seperti itu adanya, jangan tanyakan padaku, tapi pada orang tuaku. Tapi kalo bukan seperti itu yang kamu pikirkan, maka yang kamu rasakan itu hanya nafsu belaka”
“Daripada terjadi fitnah, sebaiknya kita akhiri diskusi ini di sini. Maaf, aku harus pulang”
“Tunggu dulu, aku masih ingin bicara” cegah dana saat Ara mulai berdiri.
“Maaf, aku harus pulang”
“Kenapa?” tanya Dana.
“Karena batagorku sudah jadi, aku mau makan batagor itu saat hangat di kost. Assalamualaikum”
Ara berjalan menuju gerobak, membayar dan menuju parkiran motor. Beberapa saat kemudian hanya punggungnya yang terlihat. Semakin mengecil dan menghilang di kejauhan.
“Waalaikumsalam” jawab Dana ketika sosok Ara tak lagi terlihat.
Tamat..
Hiks… Hiks… Hiks…
Haru banget ya, chuy ceritanya..
Ga nyangka gue bisa buat cerita begitu..
[takabur mode active]




SEBUAH DIALOG PAGI HARI
  ada sebuah cerita di sebuah rumah di desa di pagi hari , antara anak laki-laki dan ibunya
  begini kisahnya . .
  sang Anak telah duduk di teras rumah , liburan semester ini ia pulang setelah sekian lama , ibunya membenarkan kerudung hadiah dari anaknya ini. Memantas-mantaskan diri di depan cermin , lantas keluar
  Ibu : bagaimana ? bagus tidak ?
  Anak : cantik sekali ibu . .
  Ibu : hahahaaa pintar menggombal juga kau Nak
  Anak : . . . . . *muka datar -______-'
  Kemudian ibu masuk ke dalam dan keluar lagi membawa 2 gelas teh hijau.
  Ibu : nak , hari gini ini banyak sekali ya perempuan yang sudah berkerudung , tidak seperti jaman ibu dulu , pake gituan dilarang
  sang Anak menyimak dengan seksama
  Ibu : tapi Nak, kerudung itu tidak bisa memastikan keimanan dan ketakwaan seseorang saat ini.
  sang Anak semakin menyimak
  Ibu : kemarin Ibu liat ada perempuan berkerudung bergandengan mesra di tengah jalan , padahal bukan suami istri , di tempat lain lagi , sama aja.
  sang Anak mulai terbawa arus pembicaraan
  Ibu : ah , memang kerudung itu tidak bisa dijadikan acuan 100% saat ini untuk memilih istri Nak
  Anak : -____- *muka datar
  Ibunya tersenyum
  Ibu : tapi ibu berharap punya mantu yang pake kerudung , asa cantik gitu liatnya teh . .
  Kenapa jadi nyarios Sunda -____-'
  Ibu : ahaa , ibu punya nasihat buatmu untuk memilih perempuan yang baik diantara seluruh perempuan Nak
  Anak : hmmm apa itu Bu ?
  Ibu : pilihlah perempuan yang shalatnya di awal waktu
  Belum sempat sang Anak memotong pembicaraan , ibunya melanjutkan
  Ibu : kau tau kenapa , itu menjadi tanda kecintaannya , dia tahu mana yang lebih utama , tanggungjawab dan komitmen. Ia resah jika harus mengulur-ulur waktu shalat. Apalagi menundanya di akhir waktu. Hahahaaa
  Anak : jadi apa hubungannya sama kerudung tadi Bu ?
  Ibunya tersenyum
  Ibu : ahaha ibu liat sih , berkerudung itu baik , tapi ternyata tidak semua nya bisa disama ratakan saat ini , banyak perempuan yang berkerudung , ketika adzan mereka masih asyik haha hihi bercerita tertawa terbahak-bahak sama temenya , lantas tiba2 ketika waktu shalat mau habis , mereka baru terburu-buru shalat , bahkan ada yang shalat di waktu-waktu yang seharusnya tidak bisa
  Sang Anak tersenyum . . . .
  Ibu : kau paham karena menyaksikannya sendiri di kampusmu bukan ?



KETIKA SAHABAT MENJADI PENGHIANAT
Kalian masing-masing pasti mempunyai sahabat. Entah itu laki-laki atau perempuan, entah berapa banyaknya, satu atau dua, entah berapa jauh jarak umurnya dibandingkan kalian.
Sahabat, satu kata yang bermakna bagi kalian. Sahabat adalah teman sejati, biasanya kita berbagi curhat, rahasia, cerita, dan lain-lain kepada mereka, dan meminta mereka untuk menyimpan rahasia itu baik-baik agar tak diketahui orang lain.
TAPI,
Sahabat juga bisa berkhianat.
Ada pula sahabat yang awalnya bisa kita percaya, namun di belakang ternyata ia memberitahu semua tentang kita.
Tidak percaya? Baca cerita ini :

Hai, namaku Amy. Umurku 13 tahun, dan bersekolah di Junior High School 5 Cilacap. Saat ini, aku sedang ada dalam masa liburan panjang akhir semester. Hari Senin besok, aku akan naik ke kelas 8. Jadi, liburan panjang ini begitu membosankan bagiku.
Aku mempunyai sahabat perempuan, yang bernama Milly. Dia anak yang ramah. Awalnya, aku senang bersahabat dengannya. Karena dia dapat dipercaya, juga bukan mulut ember. Tapi lama-kelamaan, aku membencinya. Apalagi karena kejadian malam minggu kemarin.

Hari itu, aku sedang saling mengirim pesan dengan Milly dan Catherine. Aku bercerita banyak kepada Milly, bagaimana aku menyukai seseorang yang disitu kusebutkan namanya. Dan bagaimana orang itu menanggapi perasaanku dengan cara menyatakan perasaannya padaku tanggal 22 Juni kemarin. Milly sangat antusias, ia pun bertanya kepadaku akan hal itu. Satu-satunya hal yang kuingat adalah ini:
“Amy, kau sedang memikirkan Willy, benar?”
Ya, nama orang yang kusukai itu adalah Willy. Sewaktu kelas 7, ia satu kelas dengan aku dan Milly. Yah… entah apa yang mendorongku untuk menyukainya.
“Benar. Kau bisa tahu?” tanyaku.
Milly hanya tertawa kecil. “Tentu saja.”
Aku diam. Kemudian membalas pesannya, “Tapi kau janji jangan memberitahukannya kepada siapapun.”
“Oke,” ucap Milly agak berat hati. Setelah itu, kami menyudahi percakapan kami. Aku beralih mengirim pesan kepada Catherine.
“Hai, Cath.” sapaku terlebih dahulu.
“Hai, Amy. How are you?” tanya Catherine.
“Fine. Emm… how about masboy?” tanyaku kepada Catherine, menyebutkan julukan orang yang disukainya.
“Masbro? Emm… tadi malam, aku duduk di sebelahnya.” jawab Catherine senang.
“Wah, aku juga ikut senang.” ucapku sambil tersenyum.
“Ya, bagaimana hubunganmu dengan… hemm… Ricky?” tanya Catherine balik. Aku tertegun.
“Biasa saja, kau tahu.” jawabku sambil tertawa.
“Haha… bisa saja kau,” balas Catherine.
“Ehh, sudah dulu ya, pulsaku menipis,” ucapku.
“Oke, goodnight Amy.” ucap Catherine.
“Goodnight Cath.” balasku.
Aku pun memutuskan untuk tidur karena hari sudah terlalu malam.

Keesokan paginya, aku membuka internet. Aku bermaksud untuk membuka Facebook. Aku log-in, kemudian melihat-lihat status di beranda. Dan! Ada sebuah status yang begitu menyindirku…
~ Milly Warren
Kok aku jadi sedikit ENVY yah begitu dengar Amy di t**b*k oleh Wi**y? Apa karena aku pernah menyukai Wi**y? Ah, entahlah O:)
“Apa-apaan ini!” aku membanting HPku seketika. Aku lupa jika aku sedang berpuasa. Karena saking kesalnya, aku pun menaruh komen di status Milly.
“Terlalu jelas, Mill.” ucapku sedikit kesal.
Aku benar-benar tak percaya. Milly Warren, seseorang yang selama ini ku anggap paling baik, paling ku percaya ternyata berkhianat. Katanya, ia tidak akan membocorkannya kepada siapapun. Tapi ini… PENGHINAAN!
Aku mencoba mengirim pesan kepada Catherine. Isinya:
“Kau telah berbohong, Milly.”
“Kenapa?” tanya Catherine.
“Kau lihat status Milly, dia menghinaku!” seruku kesal.
“Sudah biasa, Am. Kalau kau punya rahasia, jangan pernah memberitahukannya kepada Milly. Dia itu MULUT EMBER,” jelas Catherine yang sepertinya juga kesal.
Aku menyesal, sungguh menyesal telah memberitahukan rahasia itu kepada Milly. Mulai saat ini aku berjanji, tidak ingin mengenal Milly lagi

Cerpen Karangan: Harum Dewi Alamsyah Putri
Facebook: Dewi Alamsyah











Menjadi Sederhana Itu Indah…

Karena ia selalu menyimpan cahaya..

 (Cerpen) Sebuah Dialog
Bimisllah…
Dalam senja yang mulai gelap. Kupandangi hamparan birunya laut itu. Laut biru yang ketika siang begitu manisnya menggambar bumi di ujung Timur Formosa. Sepertinya ia lunglai dengan siang yang panas, merasa penat dengan kebisingan mentari bersama sinarnya, ia butuh berteduh dalam damai, berdiam dalam perenungan di gulita yang hanya ditemani bintang. Ia menuntut itu. Menuntut untuk segera ditemani malam, biar ia tak lagi diganggu dengan penduduk-penduduk bumi yang mencari kehangatan, kehangatan yang membuatnya jengah. Jengah karena ulah mereka.
‘Semakin brengsek saja penghuni bumi.. “ gumamnya.
“Panasnya air yang kumiliki semakin menjadi selama beberapa tahun terakhir. Padahal dulu, saya masih menikmati kedamaian hangatnya mentari sembari sesekali badai datang menerpa negeri ini. Buatku, ini karena ulah manusia. mereka dengan borosnya memakai energi di perut tanah-tanah itu. Aku, hutan, dan semua inti bumi ini sebenarnya marah dengan mereka. Tapi mereka begitu tak peduli” Lanjutnya..
Aku tersenyum sendiri membayangkan betapa kesalnya seluruh makhluk Allah di muka bumi. Mereka jengah sebenarnya. Jengah dengan para penghuni bumi yang mulai tak mengindahkan perintah Tuhan. Satu persatu terus ditinggalkan. Benar, bahwa nikmat-nikmat Allah itu terus turun di bumi para orang kafir, tapi itu tak lebih dari istidraj-Nya Allah untuk mereka. Kadang-kadang dunia ini memang unik dan sungguh memilki banyak tanda tanya. Tapi bagi yang berilmu. Sebenarnya ini sederhana. Ini hanya tentang “patuh atau tidaknya kamu dengan perintah Allah Yang maha Kuasa..” hanya itu pangkal persoalannya. Jika kembali kepada jalan yang benar, jalan lurus nan bercahaya, sejatinya hidup akan menjadi sederhana lagi bermakna.
Aku mengutuk diri sendiri. Rasanya tak pantas kumulai menghitung salahnya orang lain, sedangkan akupun masih banyak lalai dan masih banyak hal yang berlum disempurnakan. Tak lama kemudian, kuarahkan pandanganku di sekeliling kereta. Setiap manusia masih asyik dengan aktivitasnya masing-masing. Sebagian besar dari mereka benar-benar acuh tak peduli. Beginikah hidup di negara yang maju ? yang penduduknya pekerja keras dan tahan banting manantang dunia ? mereka seperti lupa, bahwa sapaan dan dialog hangat bersama saudara seperjalanan adalah kenikmatan paling indah di dunia. Kenikmatan yang bisa kurasa ketika perjalanan Jakarta-Yogyakarta kulalui. Menikmati tertawanya para pengemis, sedihnya wajah mereka, atau para penjual-penjual jajanan kecil yang sungguh ribut tak terkira meski itu di malam hari. Bagiku, itulah eksotis-nya Indonesiaku. Negeri permai yang semrawut namun merupakan syurga bagi mereka yang mencintai keramahan dan hidup dalam komunitas.
Aku berdialog lagi dengan diri sendiri. Sepertinya harus kuakui, bahwa berbicara dengan hati adalah aktivitas paling kucintai. Aku menyukai keluasaan cakrawalanya dalam mengambil keputusan, juga sangat menikmati berbagai macam pemikiran dan teori yang suka ia tafsirkan dari berbagai sumber informasi yang berasal dari otakku. Kali ini aku bergelut dengan dua kata. “Nekat” dan “Yakin”
“Kamu yakin ? atau jangan-jangan ini hanya kenekatan yang tak beralasan, kenekatan yang bodoh ?” Tanyanya padaku. Aku tersenyum kemudian mencoba menjawab dengan sebijak dan se-rasionalis mungkin.
“Bisa jadi.. engkau bisa menamakan ini sebagai kenekatan, atau -mungkin- kebodohan. namun entah kenapa, kenekatan-kenekatan itu teriringi dengan rasa Yakin. Rasa yakin yang sulit untuk kuterjemahkan. Dan aku percaya kau dan juga aku suatu saat akan memahaminya” Jawabku.
“kenapa begitu ? Selalu ada alasan untuk sebuah keyakinan. Begitu yang selalu kau ajarkan kepadaku setiap kali ada masalah yang mulai datang dan kau tanyakan padaku untuk segera memberi fatwa” Tanyanya mulai sengit dan sedikit protes.
“Namun, kali ini berbeda. Akupun tak bisa menjelaskannya kepadamu. Aku heran sendiri kenapa kenekatan ini ditemani dengan keyakinan. Bisa saja karena aku percaya bahwa akan ada hasil yang baik dari kenekatan ini, ada cahaya yang akan segera datang menyinari jiwa hingga kelak ia lebih sempurna dalam menghamba. Alasan-alasan yang belum terjadi itu kuprediksikan akan datang menghampiri, hingga akupun menjadi semakin yakin dengan kenekatanku” kucoba kembali meyaknkannya
“Ahh.. jangan-jangan jawaban yang kamu berikan hanyalah ungkapan yang retoris. Ungkapan kata-kata yang sengaja kau pilih untuk membenarkan kenekatan ini ?” Dia mulai sedikit protes. Apakah jawabanku tidak meyakinkan ?
Hmm.. kupikir dalam-dalam bahasa apa yang bisa kupakai untuk menerjemahkan apa yang sebenarnya ada di dalam pikirku.
“Sebenarnya, ada kekuatan Maha Dahsyat yang membuat rasa yakin ini. Kekuatan yang takkan kita temukan dimanapun selain dengan sujud penuh khusyu kepada-Nya. kekuatan yang melahirkan keyakinan kokoh dari sajak-sajak do’a yang terkirim pada-Nya. Kekuatan yang berasal dari Allah, Tuhan kita bersama. Ia memberikan keyakinan yang saya sendiri-pun terheran-heran dengannya. benarkah ini ? nyatakah ini ? pertanyaan-pertanyaan itupun sampai sekarang masih terus hadir di alam pikirku. Namun rasa yakin justru terus bertambah tiap kali aku bertanya pada diri sendiri. Aku hanya PERCAYA. PERCAYA bahwa Allah itu Hebat, MAHA HEBAT bahkan. DIA berhak memberikan apapun kepada makhluk-Nya sesuai yang DIA kehendaki. Aku hanya percaya dengan Janji-Nya. percaya dengan firman-nya yang memastikan selalu akan menolongku jika aku berani mengambil langkah kenekatan ini. Percaya bahwa ia akan meng-kaya-kan aku dan melimpahkan rezeki-ku jika aku berani menantang “kebodohan” ini. Entah kenapa. Kepercayaan itu semakin menjadi-menjadi. Bahkan kuat sekali. Kalau sudah begini, apa lagi jawaban lain yang ingin kusampaikan kepadamu selain bahwa aku percaya dengan keyakinan ini ?”
Kulihat ia diam sesaat. Sejenak termenung dan mencerna kata-kataku. Seperti biasa. Aku menunggu fatwa-nya untuk segera mengabarkan kepada otak dan mulutku agar segera bertindak. Bagiku, fatwanya sungguh berarti.
“Baiklah.. aku menangkap keyakinan yang sukar untuk kurobohkan. Keyakinan yang kalau kulihat sebenarnya juga berasal dariku. Dari hatimu sendiri. Aku sering menangis di sudut Masjid itu. Ketika kau menghabiskan harimu dengan shaum sunnah di pagi hingga senja hari, kemudian do’a-do’a itu terlontar dalam mihrab-Nya. kau begitu tenang lagi khusyu membuatku semakin tergugu karena mengingat Allah dengan segala kebesaran-Nya. Kuakui, meski kadang aku protes dengan kenekatan ini. Namun itu tak lebih agar bisa membuatmu lebih rasional dan mempersiapkan segala sesuatu. Hanya saja. Aku khawatir, khawatir kalau aku tak selalu baik setiap saat. Sebab para sahabat dan orang berilmu-pun selalu lalai. Apalagi dengan kamu yang tak sekokoh mereka ? Aku takut jika kamu mulai terbuai dengan nikmatnya dunia yang sudah sering bikin aku sakit dan ternoda. Aku takut itu. Jika kamu terus seperti ini. Keyakinan itu akan tetap bertahan dan kuyakin secara pasti akan memberi banyak arti bagi sebuah perubahan hidup yang lebih pasti” kali ini ia mulai membenarkanku.
“benar.. kau sungguh benar, Kau lihat sendirikan, kayuhan sepedaku dalam getaran karena rindu yang membuncah pada-Allah ? kau saksikan sendirikan bagaiman kamu mulai gerimis menyaksikan cakrawala senja bersama kesyukuran yang kukirim bagi Tuhan kita. Aku hanya ingin memilki cinta sepanjang masa untuk Allah, Tuhan kita. Aku ingin memilikinya. memilikinya dalam genggamanmu hingga kau bisa menghasilkan fatwa-fatwa bagiku dengan lurus dan benar. kamu juga tahu, sedari dulu do’a itu tetap sama.. “Aku hanya ingin mencintai-Mu disepanjang waktu.. Maka kumohon bantulah aku”. itu yang selalu kuungkapkan ketika kusadar bahwa diri ini selalu akan kembali kepada-Nya. Diri ini punya banyak tanggung jawab yang terus datang setiap saat. Aku hanya ingin itu. Ingin agar DIA adalah sejatinya zat yang menjadi tujuanku. Sebab kamu dan aku telah benar-benar sadar bahwa di dunia ini, hal yang paling indah adalah ketika bersama-Nya, meiliki-Nya.”
Ia mulai tersenyum. Masih dalam raut yang sukar untuk kupahami. Mungkin juga ia masih takut dan khawatir karena segala sesuatu bisa terjadi. Namun ia telah memberi fatwa buatku. Fatwa untukku agar tak lagi takut dan berani untuk mengambil segala resiko.
Kuakhiri diaolog itu. Kukepalkan jari-jariku sembari meyakinkan diri. Bahwa ini adalah sebuah langkah yang benar dan bukan perbuatan yang sia-sia. Aku tahu bahwa ini adalah kumpulan cerita yang kutunggu sedari dulu, dan baru Allah perlihatkan padaku saat ini.
…………………………………………………………………………
Kereta malam itu terus melaju. Ia mulai meninggalkan timur Formosa bergerak menuju Utara. Kulihat malam semakin gelap, sedang hatiku masih terus bertasbih mengingat-Nya. Ada rasa rindu yang membuncah dan meletup-letup seperti yang pernah kurasa ketika subuh Yogya kusambangi, atau ketika musim semi yang hangat di penguhujung Mei.
“Allah.. Apa lagi yang tersisa jika percaya ini adalah percayaku pada-Mu. Sedang engkau berkata.. ‘AKU sesuai prasangka hamba-Ku’… ” gumamku dalam hati..
Taipei, 12 Mei 2011
~ Yusuf Al Bahi ~



Headlines  »  Suluh

Cerpen: Dialog Seorang Demonstran Dan Ibunya

Jumat, 10 Agustus 2012 | 6:02 WIB 1 Komentar | 1042 Views

Betapa bangganya menginjakkan kaki di Universitas pada tahun 1999. Itu adalah tahun musim semi aksi protes. Katanya, tidak gaul kalau tidak demonstrasi. Ah, itu mungkin cuma klaim si tukang demo saja.
24 September 1999. Aksi massa merebak di seantero nusantara. Mahasiswa menentang pengesahaan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB). Di Jakarta, seorang mahasiswa Universitas Indonesia, Yun Hap, gugur di medan perjuangan.
Hari itu, ketika panas benar-benar membakar kulit, Bram ikut aksi demonstrasi untuk pertama-kalinya. Ia begitu bangga mengenakan jaket merah almamaternya. Dalam hatinya berseru-seru: We Are Red Jacket!
Pada buku catatannya Bram menulis:
“Hari itu kurasai apa jadinya seorang mahasiswa. Kata seorang senior di kampus, tugas mahasiswa bukan hanya belajar, tapi juga punya tanggung jawab moral: memperjuangkan rakyat. Katanya lagi, kampus tak boleh menjadi menara gading. Dan mahasiswa tak boleh terpisah dari rahim rakyat. Suara rakyat adalah suara Tuhan (Vox Populi, Vox Dei).
Rupanya, demonstrasi punya ceritanya sendiri. Sayup-sayup kudengar selentingan: cinta bersemi di kala aksi. Uhh, di tengah-tengah perjuangan begini, ada saja orang yang mencoba mencuri keuntungan. Digunakannya motornya untuk menggaet cewek-cewek cantik. Dasar pecundang!”
Bram bukanlah nama sebenarnya. Orang tuanya memberi nama “Sabaraman”. Tetapi teman-teman sekolahnya memplesetkannya menjadi “Sembarangan”. Gara-gara itu ia sederhanakan namanya menjadi “Bram”.
Bram anak seorang pengusaha mebel di Sumatera. Jauh-jauh ia merantau ke Jakarta hanya untuk menuntut ilmu. Orang tuanya berpesan: “Nak, kau harus jadi Hakim nanti. Kau perjuangkan keadilan orang-orang di kampung ini. Jangan kau sia-siakan pesan orang tuamu itu, Nak.”
Sayang, di Jakarta, Bram tercebur dalam dunia lain. Ia memilih menjadi aktivis. Baginya, kuliah hanya pembodohan. Dan menjadi hakim tak lebih dari menciptakan penindas-penindas rakyat. Tiap hari Bram mulai berkokok tentang “Revolusi”. Hampir semua bajunya bergambar pria ganteng mengenakan baret sambil menghisap cerutu. Kalau tidak salah namanya Che Guevara. Ia sekarang menjadi bagian dari organisasi bernama Komite Mahasiswa Revolusioner (KMR).
Dua tahun Bram tak pulang ke kampung halamannya. Surat pun tak sekalipun melayang ke sana. Ayahnya murka. Dianggapnya anaknya itu sudah durhaka. Hanya ibunya yang masih menaruh harapan pada anak sulungnya itu. Didatanginya anaknya di Jakarta. Hampir sebulan wanita mulia itu mondar-mandir untuk mencari tempat tinggal anak yang dilahirkan dari rahimnya itu.
“Tidak kusangka, Nak,” kata Bundanya
“Apa yang tidak disangka, Bunda?”
“Kau sudah lupa dengan orang tua. Bahkan kau lupa dengan Ibunda yang melahirkanmu. Apa gerangan yang membuatmu berubah, Nak?”
“Saya tidak pernah lupa, Bunda. Hanya saja, ada tanggung jawab besar di pundak saya. Itu lebih penting ketimbang hanya memikirkan pribadi saja.
“Apa itu, Nak?”
“Membela Rakyat, bunda. Yah, membela rakyat adalah tugas setiap intelektual revolusioner. Saya, Bunda, tak mau disebut intelektual menara gading.”
Ibu Bram tak begitu mengerti apa yang dibahas anaknya. Ia pun segera mengalihkan pembicaraan.
“Masih rajin Sholat kau, Nak?”
“Apa pentinya pertanyaan itu, Bunda.”
“Apakah kau masih Sholat, Nak?”
“Tidak, Bunda, saya terlampau sibuk di kampus. Setiap hari ada diskusi dan aksi. Bagi saya, itu ibadah yang lebih penting. Katanya, itu ibadah sosial.”
Ibu Badrun lagi-lagi kebingingungan dengan jawaban anaknya. Dengan cepat ia berkata, “Jadi kau tak sholat lagi, Nak? Kau sudah tidak pernah menghadap Tuhan lagi?”
“Bunda, saya anggap agama itu candu. Itu hanya penenang bagi kaum miskin agar tak melawan. Ah, Bunda, apa guna orang beribadah dan bertuhan, tetapi penindasan dan penghisapan terjadi dimana-mana. Suara rakyat suara Tuhan, Bunda.”
Belum selesai Bram bicara, ibunya sudah meraung-raung. Wanita mulia itu tak kuasa lagi membendung tangisannya. Anaknya yang tercinta, Bram, sudah melukai hatinya dan meninggalkan amanatnya.
Bram tak kuasa melihat air mata ibunya. Ia segera menjatuhkan diri ke lantai dan mencium kaki ibunya.
“Ampun, Ibunda, ampun, ampun….”
“Kau bukan cuma durhaka, nak, tapi sudah lupa Tuhan. Ayah-ibumu yang akan menanggung kesalahanmu itu nantinya.”
Kata-kata ibunya terus menyambar bagai petir. Bram tak kuasa melawan. Ia terus bersujud di kaki ibunya dan terus memohon ampun.
“Ampun, bunda, saya khilaf. Saya akan ikuti pesan ibunda. Tapi, maafkanlah anakmu yang semata-wayang ini.”
“Maukah kau bertobat, nak?”
“Insyah Allah, bunda.”
“Jangan hanya janji, nak. Kau harus pastikan untuk bertobat dan kembali ke jalan tuhan.”
“Iya, bunda, pasti….nanti akan kulakukan.”
Tangis ibunda Bram mulai reda. Bram, sang pemberontak muda itu, takluk juga di bawah telapak kaki ibunya.
***
Seminggu setelah ibunya pulang, Bram kembali masuk kampus. Didapatinya situasi sedang bergolak. Mahasiswa tidak setuju dengan kenaikan biaya SPP. Sudah begitu, pedagang kaki lima hendak disingkirkan dari kampus.
Langkah kakinya terhenti di depan pintu kelas. Hati nurani Bram merasa terpanggil. Kata-kata tokoh idolanya, Che Guevara, seakan terus memanggilnya: Bila hatimu bergetar marah melihat ketidakadilan, maka kau adalah kawanku!
Bram mendatangi sekretariat KMR. Rupanya, ruangan berukuran 3 x 3 meter itu sudah penuh sesak dengan orang. Sebuah diskusi untuk membahas persoalan sedang berlangsung. Ia pun segera menjadi bagian dari gerakan perlawanan.
Esoknya, sesuai dengan kesepakatan rapat, aksi protes digelar. Mimbar bebas digelar di depan gedung Rektorat. Ribuan mahasiswa bergabung dalam aksi protes itu. berjam-jam aksi protes itu tak mendapat respon. Akhirnya, mahasiswa pun berusaha merengsek masuk.
Sang Rektor sangat panik. Ia pun memilih kabur lewat pintu belakang. Namun, begitu ia sudah naik di atas mobil, masalah baru muncul: ban mobilnya kempes. Seseorang sudah sengaja mengempesinya. Pelakunya: Bram.
Seketika Bram menjadi terkenal. Tapi, itu juga pertanda datangnya malapetaka. Begitu aksi protes mereda, Rektor meminta pengusutan pelaku pemecah ban mobilnya. Komisi Disiplin memanggil Bram. Bram, yang memposisikan diri sebagai seorang revolusioner, menolak panggilan itu.
Bram melawan balik dengan pamflet. Ditulisnya, rektor telah melakukan korupsi untuk memperkaya diri. Lihat saja, mana mungkin seorang rektor bisa membeli mobil semewah itu. Belum lagi rumahnya yang menyerupai gedung.
Persoalan melebar. Bram kembali dipanggil Komdis. Tak satupun panggilan itu dipenuhinya. Akhirnya, sebulan kemudian datanglah surat rektorat ke kamar kostnya. Isinya: SK drop-out (DO).
Tapi Bram tak patah arang. Baginya, gagal di perkuliahan bukanlah hal yang perlu disesali. Ia percaya ilmu bisa didapat di mana saja. Termasuk di luar gedung-gedung perkuliahan.
Terlempar dari kampus, Bram memilih jadi aktivis serikat buruh. Ia benar-benar memilih jalan revolusioner. Tiap hari ia keluar masuk pemukiman buruh. Pekerjaan itu ditekuninya selama bertahun-tahun.
***
Apa yang penting di tahun 2009? Oh, iya, ada pemilu. Dan Bram menjadi salah seorang calon anggota legislatif. Bagaimana ceritanya?
Cukup lama Bram menjadi aktivis serikat buruh. Sayang, sebuah pertikaian internal membuatnya tertendang keluar. Tidak jelas apa pangkal perdebatannya. Singkat cerita, pasca kejadian itu, Bram sempat menjadi pedagang buku.
Hingga, pada suatu hari, ia bertemu dengan seorang temannya. Dulu temannya itu aktivis juga semasa kuliah di kampus. Temannya itulah yang mengajak Bram bergabung dengan sebuah partai nasionalis.
Semula ia ingin maju di Jakarta. Tetapi partainya, yang percaya kekuatan primordialisme itu, menyuruhnya maju di kampung halamannya. Maka pulanglah ia ke kampung halamannya.
Latar belakang sebagai aktivis akan sangat membantu, pikirnya. Karena itu, kemana-mana ia mengenalkan diri sebagai caleg aktivis. Ia bilang kepada orang-orang di kampungnya, kalau dirinya dipilih, maka akan memperjuangkan program-program kerakyatan: pendidikan gratis, kesehatan gratis, perumahan murah untuk rakyat, memperjuangkan kenaikan upah 100%, tanah untuk penggarap, dan lusinan program lainnya.
Bram yakin, suara Rakyat adalah suara Tuhan. Ia beranggapan, rakyat akan lebih memilih caleg aktivis, yang sudah terbukti berjuang di tengah rakyat, ketimbang caleg-caleg non-aktivis. Untuk menggali suara, Bram menggunakan cara-cara semasa menjadi aktivis: menyebar selebaran, mencetak pamflet, melakukan advokasi, dan berorasi keliling dari desa ke desa.
9 April 2009. Pemilu legislatif serentak digelar. Orang berbondong-bondong ke TPS. Tak terkecuali Bram. Ia berikan suaranya di kotak suara—dulu, ia selalu menyerukan golput sebagai perlawanan. Usai pencoblosan, datanglah saat-saat yang dinanti: penghitungan suara.
Mendadak perasan Bram tergoncang. Sudah berpuluh-puluh kertas suara terhitung, tapi belum juga ada suara untuknya. Dan ketika sudah seratusan, tetap saja tidak ada bekas lubang tusukan di tanda gambarnya. Ia mulai gelisah. Perkiraannya meleset 100%.
Dan diakhir perhitungan sudah jelas: di TPS dekat rumahnya ia hanya mendapat 12 suara. Jika diakumulasikan dengan keseluruhan dapilnya, ia hanya mendapat 200-an suara. Ia sangat terpukul. Berhari-hari kata-kata tak bisa keluar dari mulutnya. Hingga suatu hari ibundanya berusaha membuka mulutnya.
“Kenapa kau, nak? Apa kau kecewa dengan hasil itu?
“Iya, bunda, saya sangat kecewa. Tetangga-tetangga tak satupun memilih saya. Kerabat juga hanya sebagian. Sementara orang-orang miskin itu, yang sudah lama kuperjuangkan, tak juga memberi suara untukku. Tak kusangka, suara rakyat bisa dibeli uang. Yah, uang para politisi busuk itu,” kata Bram menderu-deru bak mesin lokomotif.
“Tapi kau tak bisa menyalahkan mereka, nak. Seruanmu tak sampai di kesadaran mereka. Bagi mereka, makan esok hari jauh lebih mendesak ketimbang seruanmu yang belum jelas kapan terjadinya itu.”
“Jadi ibunda menyalahkan cita-citaku dan caraku memperjuangkannya?”
“Tidak ada yang menyalahkan cita-cita dan perjuanganmu nak” bantah ibunya dengan suara tenang. “Cita-citamu sudah tentu benar. Caramu berjuang tentu sangat bermartabat. Kau tak merendahkan martabat manusia dengan membeli suaranya.”
“Tapi, apa yang salah, bunda?”
“Kau tak membaca psikologi mereka. Kau tak terlalu mempelajari bentuk pendekatan terbaik untuk menyampaikan cita-citamu ke mereka. Kau terlalu percaya diri dengan caramu sendiri. Padahal, kau seperti orang yang berseru-seru di padang pasir.”
Jawaban itu bagaikan pukulan palu yang menimpuk kepala Bram. Ia terpekur tak mengeluarkan sepatah kata pun. Badannya lemas seperti kehilangan tulang-belulang penyokongnya.
Ibunya membelai rambut anaknya yang sudah 35 tahun itu. Dan kemudian ia membisikkan, “perjuanganmu tidak sia-sia, Nak. Hanya waktunya dan keadaannya saja yang belum tepat. Jangan kau patah semangat karena kekalahan kecil itu.”
Awalnya, wanita mulia itu menentang anaknya ketika memilih menjadi aktivis. Belakangan ia mengetahui, bahwa menjadi aktivis adalah pekerjaan membela rakyat. Ia pun tak lagi mempersoalkan pilihan anaknya.
Pasca kekalahan itu, Bram menjadi pengusaha mebel. Ia melanjutkan bisnis ayahnya. Tambahan modalnya didapat dari uang yang ditabung puluhan tahun oleh ibunya. Bisnis mebel Bram berkembang dengan baik. Di bagian depan rumahnya terdapat papan nama bertuliskan: CV. SUARA RAKYAT.
Pasar Minggu, 8 Agustus 2012



2 komentar:

  1. keren postnya gan tepat banget lagi butuh cerpen yangada dialognya terus ada campuran komedi gitu

    BalasHapus
  2. Hallo kak permisi apakah saya boleh tau biografi penulis cerpen "DIALOG PAGI HARI" karena saya sangat membutuhkan data tersebut untuk tugas seni budaya saya mohon bantuannya 🙏🙏

    BalasHapus

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net